Oleh : Ratna Puspita, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Hasil rapat sidang khusus Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) memutuskan pemberhentian permanen mantan menteri kesehatan Terawan Agus Putranto dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Pimpinan Presidium Sidang Abdul Azis membacakan keputusan tersebut dalam Muktamar ke-31 IDI di Kota Banda Aceh, Aceh, Jumat (25/3/2022).
Selanjutnya, beberapa politisi melontarkan pembelaan untuk Terawan. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Nihayatul "Ninik" Wafiroh menyempatkan waktunya untuk merangkai ratusan huruf menjadi sebuah utas di akun Twitternya, @ninikwafiroh.
Dalam utasnya, Ninik menyebutkan tentang hubungan personal dan 'kebaikan' Terawan mengirimkan dokter dan alat ketika ada seorang anggota DPR yang terpapar Covid-19.
Pembelaan dengan membawa hubungan personal dan perawatan untuk orang dekat juga dilontarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Yasonna Laoly. Politikus PDIP tersebut menceritakan tentang pengalamannya menerima vaksin nusantara dan membawa dua temannya yang menjalani Digital Subtraction Angiography (DSA) dari Dokter Terawan.
Baca juga : Dampak Pemecatan Terawan: DPR akan Revisi UU Praktik Kedokteran, Usul IDI Dibubarkan
Pembelaan tersebut cukup menggelitik karena para elite politik mengutamakan pengalaman pribadi dibandingkan pengalaman rakyat. Seolah, hal terpenting bagi elite politik ini memang pengalaman pribadinya dibandingkan pengalaman rakyat.
Kita tahu bahwa Terawan terkenal dengan meme "nanti juga sembuh sendiri". Sebuah meme yang menjadi bentuk kritik masyarakat terhadap pemerintah karena mengabaikan bahaya Covid-19 pada periode penularan.
Meski kasus Covid-19 sudah menurun belakang ini, jangan lupa ada 155.241 orang meninggal karena Covid-19 hingga Ahad (2/4/2022). Tentu saja, ada luka pada sebagian masyarakat ketika melihat pembelaan-pembelaan tersebut.
Hal lain yang juga menggelitik dari pembelaan tersebut adalah upaya pemerintah mengintervensi sebuah lembaga profesi. Dalam pembelaannya, Yasonna menyarankan agar Undang-Undang Kedokteran direvisi. Bahkan, Yasonna berpendapat bahwa izin praktek kedokteran seharusnya menjadi kewenangan pemerintah dan bukan organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia.
Baca juga : IDI Mengaku Terbuka Ruang Bagi Terawan Jika Ingin Jadi Anggota Kembali
Wakil Ketua DPR RI dari Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad akan meminta kepada Komisi IX DPR dan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) untuk merevisi dan mengkaji secara komprehensif terkait dengan UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran. Tentu saya dapat memahami jika jika revisi tersebut memang bertujuan memperbaiki dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan masyarakat dan pendidikan kedokteran.
Namun, jika tujuannya mengintervensi sebuah lembaga profesi maka revisi sebaiknya tidak dilakukan. Profesi berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan lain karena sesungguhnya hanya orang-orang yang berada dalam profesi tersebut yang mengetahui apakah anggotanya melanggar sebuah etik atau tidak.
Para dokter telah mendapatkan pelatihan bertahun-tahun untuk bisa menilai apakah seorang dokter melakukan pelanggaran atau tidak. Bayangkan, ketika kewenangan ini diserahkan kepada lembaga yang berada di bawah pemerintah, dan diisi orang-orang yang bukan ahlinya atau orang-orang yang mengedepankan pengalaman pribadinya ketimbang sains yang menjadi dasar praktik medis.
Revisi UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran seharusnya dilakukan bukan untuk mengintervensi lembaga yang memang seharusnya dikelola secara profesional seperti IDI, melainkan bertujuan menciptakan layanan kesehatan masyarakat yang jauh lebih baik dan pendidikan kedokteran yang lebih baik.
Baca juga : Satpol PP dan Koramil Copot Spanduk Jenderal Andika Pakai Baju Editan Logo Palu Arit