Selasa 05 Apr 2022 05:58 WIB

Catatan Kinerja dan Tantangan Berat Pimpinan Baru OJK

Sejumlah tantangan berat menyambut pimpinan OJK baru periode 2022-2027.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Oleh : Elba Damhuri

REPUBLIKA.CO.ID, -- Kepengurusan pimpinan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2017-2022 segera berakhir pada Juli 2022 mendatang. Proses pemilihan anggota dewan komisioner (ADK) OJK yang baru pun sudah hampir mencapai final pada awal April ini.

Presiden Joko Widodo sudah mengirim 14 nama hasil seleksi Pansel OJK untuk mengikuti fit and proper test ke Komisi XI DPR. Sesuai rencana, Komisi XI DPR akan menggelar tes kepada ke-14 calon ADK ini pada 5,6,7 April 2022.

Tentunya, proses pemilihan 7 ADK OJK ini akan sangat menarik. Komisi XI DPR akan memilih ADK dari 14 tokoh calon ADK yang sudah memiliki nama dan reputasi bagus. Mereka pernah bekerja di pemerintahan, kementerian/lembaga, dan industri jasa keuangan.

Tugas berat menanti tujuh ADK OJK yang baru. Sejumlah tantangan sudah terlihat di depan mata terkait dengan industri jasa keuangan dan berbagai masalah eksternal di luar itu.

Salah satu tantangan itu terkait dengan situasi pandemi dan krisis ekonomi. Saat situasi ekonomi berat karena pandemi covid-19, OJK di bawah pimpinan Wimboh Santoso mengeluarkan kebijakan restrukturisasi jasa keuangan yang mampu menjaga stabilitas sistem keuangan.

Pandemi Covid-19 telah memicu terjadinya resesi ekonomi di Indonesia di tahun 2020. Pada saat itu pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi minus 3,49 persen di kuartal 3.

Pemburukan ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini akan mengancam stabilitas sistem jasa keuangan apabila tidak dilakukan pencegahan (mitigasi) lebih dini. 

Untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 ini terhadap pasar keuangan dan sektor jasa keuangan, OJK mengeluarkan forward looking and countercyclical policies yang ditujukan untuk mengurangi volatilitas pasar dan outflow nonresiden, serta menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. 

Pada 13 Maret 2020, OJK dengan cepat mengeluarkan Kebijakan Stimulus Melawan Dampak Covid melalui POJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease yang mulai berlaku sejak 13 Maret 2020. 

POJK ini ditujukan menjadi countercyclical dampak penyebaran virus Corona sehingga bisa mendorong optimalisasi kinerja perbankan khususnya fungsi intermediasi, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

Pemberian stimulus ditujukan kepada debitur pada sektor-sektor yang terdampak penyebaran virus COVID-19, termasuk dalam hal ini debitur UMKM.

Nilai restrukturisasi kredit mencapai angka tertinggi pada Desember 2020 sebesar Rp 971 triliun yang diberikan kepada 7,6 juta debitur atau sekitar 18% dari total kredit perbankan. 

Nilai tersebut menurun secara bertahap sejalan dengan mulai membaiknya kondisi para debitur dengan tren penurunan yang semakin melandai. Hingga Januari 2022 nilai restrukturisasi Covid-19 tercatat sebesar Rp 654,64 triliun dengan jumlah debitur sebanyak 3,7 juta debitur. 

Relaksasi itu sebagian besar diberikan kepada 2,96 juta debitur UMKM senilai Rp 251,93 triliun dan non-UMKM senilai Rp402,71 triliun untuk 910 ribu debitur. 

OJK membawa industri jasa keuangan melewati masa krisis ekonomi. Hal ini bisa terlihat dari tidak ada satupun perusahaan di perbankan dan industri keuangan nonbank yang ditutup akibat gagal menghadapi krisis pandemi. 

Ini berbeda saat krisis 2008 yang menyebabkan Bank Century menjadi bank gagal dan harus ditalangi (bailout) pemerintah sebesar Rp 6,7 triliun. 

Kinerja pasar modal bahkan sangat membanggakan dengan rekor-rekor transaksi dan besarnya jumlah investor ritel yang masuk. Selain market cap saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) semakin tinggi, jumlah investor pun melambung.

Bagi ADK OJK baru, ini menjadi tantangan serius untuk tetap menjaga stabilitas sistem perbankan, pasar modal, dan asuransi di tengah pandemi dan kondisi ekonomi global yang semakin tidak menentu ini.

Tantangan kedua, ADK OJK baru harus mampu mendorong kinerja industri jasa keuangan lebih baik dan berdampak besar kepada publik. Tentu, ini termasuk perbaikan kinerja di sektor perbankan, pasar modal, dan industri keuangan nonbank (IKNB).

Di sektor perbankan, misalnya, kebijakan restrukturisasi kredit perbankan mampu mendorong penyaluran kredit mulai tumbuh positif. Pada Februari 2022, pertumbuhan kredit mencatatkan tren positif sebesar 6,33 persen yoy (0,93 persen mtm), dengan seluruh kategori debitur mencatatkan kenaikan, terutama UMKM dan ritel.

Di sektor pasar modal, dampak kebijakan pengendalian volatilitas OJK terlihat sejak Mei 2020. Ini bisa dilihat dari volatilitas IHSG sudah mulai mereda dan pasar SBN juga sudah mulai menguat. 

Hal ini mengindikasikan kepercayaan investor yang membaik. Peningkatan kepercayaan investor tersebut mampu meningkatkan capital inflows dan menahan capital outflows.

Setelah mencapai titik terendah sebesar 3.937,6 pada 24 Maret 2020, IHSG sampai dengan akhir tahun 2021 telah menguat dan ditutup pada level 6.581,48 persen atau meningkat 10,08 persen secara year to date (Ytd). 

Kapitalisasi pasar saham mencapai Rp 8.256 triliun atau naik 18,45 persen dibandingkan posisi akhir tahun 2020 yakni Rp 6.970 triliun.

Aktivitas perdagangan juga mencatatkan rekor-rekor baru, diantaranya frekuensi transaksi harian tertinggi terjadi pada tanggal 9 Agustus 2021 yang mencapai 2,14 juta kali transaksi, volume transaksi harian tertinggi yang mencapai 50,98 miliar saham di 9 November 2021, dan kapitalisasi pasar tertinggi yang mencapai Rp 8.354 triliun di 13 Desember 2021. 

Dari sisi demand, terjadi peningkatan jumlah investor pasar modal secara signifikan di sepanjang 2021. Per 30 Desember 2021, jumlah investor sebanyak 7,49 juta atau meningkat sebesar 92,99 persen dibandingkan akhir tahun 2020 yang tercatat hanya sebesar 3,88 juta. Jumlah ini meningkat hampir tujuh kali lipat dibandingkan akhir tahun 2017. 

Penghimpunan dana di pasar modal melalui penawaran umum saham, obligasi dan sukuk hingga 29 Maret 2022 telah mencapai Rp 47,6 triliun dengan penambahan emiten baru sebanyak 15. 

Pada sektor IKNB, piutang perusahaan pembiayaan terpantau dalam tren meningkat, dengan nominal tercatat sebesar Rp 372 triliun pada Februari 2022 terutama didorong oleh jenis pembiayaan modal kerja dan investasi dengan mayoritas sektoral mengalami pertumbuhan positif. 

Namun demikian, premi asuransi umum kembali terkontraksi pada Februari 2022 sebesar 3,5 persen yoy setelah bulan sebelumnya terpantau positif 4,68 persen. Sementara itu, premi asuransi jiwa juga masih terkontraksi 22,02 persen yoy.

Nilai restrukturisasi di perusahaan pembiayaan pada akhir 2020 pernah tercatat sebesar Rp 189,96 triliun yang terdiri dari 5 juta kontrak pembiayaan yang kebanyakan UMKM atau sekitar 48,52% dari total pembiayaan.

Pada Februari 2022, nilai restrukturisasi pembiayaan mencapai Rp 221,83 triliun yang terdiri dari 5,25 juta kontrak.

Catatan kinerja ini tentu menjadi tantangan bagi ADK OJK baru untuk membuat lebih baik lagi. Apalagi, indikator perbaikan ekonomi semakin terlihat jelas dan sektor keuangan menjadi salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi itu.

Tantangan ketiga, ADK OJK baru dihadapkan pada masalah penyelesaian kasus perusahaan jasa keuangan. 

Kerja OJK dalam mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan tentunya akan menemukan kasus-kasus di sejumlah perusahaan atau pelaku sektor jasa keuangan. Kasus-kasus itu pun berhasil diungkap dan diselesaikan.

Beberapa kasus di pasar modal yang melibatkan sejumlah manajer investasi dan lembaga efek yang muncul justru merupakan buah dari kerja supervisory action yang dilakukan OJK.

Pada 2021, OJK telah memproses 110 kasus pasar modal dan paling banyak terkait transaksi dan lembaga efek. Rinciannya, 43 kasus terkait transaksi dan lembaga efek, 39 kasus terkait emiten dan perusahaan publik, 15 kasus terkait pengelolaan investasi dan 13 kasus terkait profesi penunjang pasar modal.

Ada dua kasus pelanggaran di bidang pasar modal yang diteruskan kepada Satuan Kerja Penyidikan dengan dugaan pelanggaran ketentuan terkait manipulasi pasar atas transaksi perdagangan saham. 

Sebagai tindak lanjut, OJK telah menetapkan setidaknya 386 sanksi. Terdiri dari 19 sanksi peringatan tertulis, 26 sanksi pembekuan izin, 1 sanksi pencabutan izin, dan 340 sanksi administratif berupa denda dengan jumlah denda seluruhnya sebesar Rp 57,7 miliar. 

Di industri perbankan, kerja pengaturan dan pengawasan berhasil membawa sektor perbankan melewati krisis ekonomi tanpa ada satu bank-pun yang mengalami dampak berarti.

Berbagai kasus perbankan yang muncul seperti Bukopin, Bank Muamalat dan Bank Banten juga berhasil diselesaikan melalui ketegasan kewenangan yang dimiliki OJK sebagai otoritas.

Di industri keuangan non-Bank, berbagai kasus lama seperti asuransi Jiwasraya berhasil diselesaikan bekerja sama dengan pemerintah, sebagai pemilik perusahaan. 

Untuk kasus Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera, OJK terus mengupayakan penyelesaian melalui pembentukan Badan Perwakilan Anggota untuk segera melengkapi manajemen AJBB. Kelengkapan manajemen AJBB berperan dalam menyiapkan dan menjalankan proses penyehatan perusahaan asuransi mutual ini. 

Tantangan keempat, normalisasi kebijakan ekonomi negara-negara maju pasca-pandemi covid-19. 

Saat ini, negara-negara maju --dalam hal ini Amerika Serikat dan negara-negara Eropa-- sednag menyiapkan kebijakan ekonomi kembali ke normal. 

Ekonomi beberapa negara maju telah pulih dan akan melakukan normalisasi kebijakan yang berdampak pada kondisi ekonomi di negara-negara berkembang, baik sisi keuangan, fiskal, maupun moneter.

Jika normalisasi berjalan lebih cepat, ini akan menyebabkan terjadinya pemulihan ekonomi global yang tidak sinkron, sehingga akan menimbulkan banyak masalah baru terutama bagi negara berkembang.

ADK OJK baru mesti menyiapkan jurus-jurus jitu untuk memperkecil efek normalisasi ini. Apalagi, kebijakan ekonomi negara-negara maju itu nantinya berdampak pada keluar masuknya aliran uang dari dalam dan luar negeri.

Tantangan kelima buat ADK OJK baru: Transformasi digital industri jasa keuangan. 

Ada ruang lingkup risiko yang meluas terutama berkaitan data dan keamanan digital. Hal ini berdampak pada potensi kejahatan siber yang akan meningkat. 

Apalagi, ketergantungan terhadap layanan pihak ketiga akan memperbesar kemungkinan kebocoran data dan risiko siber lainnya. Inilah mengapa berbagai serangan seperti malware, phising atau pengelabuan, cyber pharming, dan lain-lain kerap terjadi.

Pemerataan infrastruktur digital, gap distribusi internet, dan adopsi digital di beberapa daerah dan pedesaan di Indonesia juga masih menjadi tantangan serius industri jasa keuangan. 

OJK saat ini melakukan supervisor technology. Tujuannya agar inovasi digital tetap berjalan beriringan secara seimbang dengan penyelenggaraan layanan yang baik dan keamanan pengguna yang tetap terjaga. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement