Pertanyaan
Assalamualaikum Wr. Wb
Saya mau Tanya, bagaimana pandangan Muhammadiyah tentang hukum isbal (memanjangkan celana di bawah mata kaki)….apakah wajib, sunah, mubah, makruh ? Bagaimanakah jika warga Muhammadiyah bercelana menggantung di atas kaki ? Hal ini saya tanyakan karena di tempat kami terjadi perbedaan pandangan yang menjurus pada perpecahan.Satu sisi teman-teman yang menggunakan KACU (kathok/celana congklang) dipandang sebagai orang diluar Muhammadiyah. Karena tidak pantas orang Muhammadiyah menggunakan pakaian seperti itu.
Sementara di sisi lain orang yang menuduh seperti itu belum tentu paham dengan Muhammadiyah, bahkan ngajipun jarang. Padahal jika dilihat dari aktivitas di Persyarikatan maupun ortom kebanyakan yang celananya menggantung justru yang aktif sebagai pengurus, aktif dalam kajian-kajian di lingkungan Muhammadiyah, dan ibadahnya lebih rajin. Seperti misalnya shalat jamaahnya selalu dijalankan tetapi karena memang di tempat kami ada saudara-saudara kita dari SALAFY (mereka identik dengan celana congklang) yang notabene sering menghujat Muhammadiyah, akhirnya mungkin teman-teman disamakan dengan mereka. Demikian pertanyaan ini kami sampaikan, terimakasih atas jawaban yang disampaikan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Heri Pramono Gang Anggrek no. 26 Gombong- Kebumen, Jawa Tengah
Jawaban
Wa’alaikumsalam Wr. Wb
Terima kasih atas pertanyaan saudara. Tentang masalah isbâl yang ditanyakan, jika ditinjau secara etimologi isbâl adalah mashdar (kata infinitif) dari kata “asbala, yusbilu-isbâlan”, yang bermakna “irkhâ’an”, yaitu: menurunkan, melabuhkan, menjulurkan dan atau memanjangkan. Secara terminologi isbâl adalah memanjangkan, melabuhkan dan menjulurkan kain, pakaian, celana atau sarung hingga menutupi mata kaki dan menyentuh tanah, baik karena sombong ataupun tidak.
Jika ditelisik hadis-hadis seputar isbâl ini sangat banyak (mencapai derajat mutawatir) dan para perawi pada jalur sanad di dalamnya terkategori sebagai perawi yang bisa diterima riwayatnya. Permasalahan isbâl ini termasuk dalam masalah khilafiyah, di mana para ulama banyak yang berselisih pendapat, terutama ketika memahami hadis-hadis seputar masalah ini.
Hadis-hadis tersebut bisa diklasifikasikan menjadi dua macam. Pertama, hadis yang mengharamkan isbâl secara mutlak. Kedua, hadis yang mengharamkan isbâl karena motif kesombongan. Hadis-hadis yang menunjukan mutlak (keumuman) haramnya isbâl di antaranya, yaitu:
Artinya:Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dari Nabi Saw bersabda, “(bagian) kain yang berada di bawah kedua mata kaki tempatnya adalah neraka” [HR. Bukhari, bab kain yang berada di bawah kedua mata kaki tempatnya adalah di neraka, no. 5654]
Artinya:“Diriwayatkan dari Abu Dzar, dari Nabi yang bersabda: “(Ada) tiga orang yang Allah pada hari kiamat nanti enggan berbicara, melihat, dan tidak akan membersihkan diri mereka (dari dosa), bahkan bagi mereka disediakan adzab/siksa yang pedih”. Rasulullah mengulangi sabdanya tersebut tiga kali. Aku (Abu Dzar) bertanya: “Ya Rasulullah, rugi dan hancurlah mereka, siapa saja mereka itu wahai Rasulullah? Rasul menjawab: “Yaitu al-musbil (orang yang melabuhkan pakaian (sarungnya)),dan orang yang durhaka sekaligus mengungkit-ungkit pemberiannya dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu,.” [HR. Muslim, 253]
Sedang hadis yang mengharamkan isbâl (yang di-taqyîd/dibatasi) karena motif kesombongan, di antaranya yaitu:
Artinya:Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra., bahwasannya Rasulullah Saw. bersabda: “Allah tidak akan melihat orang yang menjulurkan pakaiannya (dikarenakan) sombong. [HR. al-Bukhari, bab firman-Nya: Katakanlah barangsiapa yang mengharamkan perhiasan Allah yang diberikan oleh Allah pada hamba-Nya) (al-A’raf : 32), no. 5650]
Dari Nabi Saw. bersabda, “Siapa yang menjulur/memanjangkan pakaiannya (karena) sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat. Berkata Abu Bakar ra, “wahai Rasulullah salah satu sisi kainku memanjang/longgar (ke bawah), kecuali bila aku menyingsingkannya ke atas. Maka bersabda Nabi Saw.,” Engkau (Abu Bakar) tidak termasuk yang melakukannya (dengan motif) kesombongan” [HR. al-Bukhari, kitab masalah pakaian, bab siapa yang menjulurkan kainnya tanpa (didasari) kesombongan, no. 5651]
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwasannya Rasulullah Saw.bersabda, “Allah tidak akan melihat pada hari kiamat pada orang yang memanjangkan kain (pakaiannya) dengan sombong” [HR. al-Bukhari, kitab masalah pakaian, bab siapa yang memanjangkan pakaiannya (dengan motif) kesombongan, no. 5655]
Artinya“Diriwayatkan dari Ibnu Umar berkata, “Aku berjalan bersama Rasulullah sedang pakaianku (sarung) longgar/memanjang (ke bawah). Beliau bersabda, “Wahai Abdulah naikan pakaianmu. Akupun menaikannya. Kemudian ia bersabda, “Tambah (lagi). Akupun menambah (ke atas). Setelah itu, akupun senantiasa tidak melonggarkannya lagi. Sebagian orang berkata, sampai mana (batas menaikannya)? Bersabda, “pertengahan betis“ [HR. Muslim, kitab masalah pakaian, bab keharaman memanjangkan pakaian karena sombong dan penjelasan mengenai batasan yang dibolehkan, no. 5417]
Sekilas terpahami dari riwayat-riwayat di atas, bahwa isbâl adalah haram karena Allah mengancam pelakunya dengan api neraka, baik disertai kesombongan maupun tidak sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah ra. di atas (riwayat no.1).
Namun untuk mengulas dan menyimpulkan dari nash-nash hadis di atas ada baiknya kita melihat terlebih dahulu bagaimana Imam al-Bukhari (Imam para ahli hadits) mempetakan dan memahaminya. Juga keterangan dari komentator terbaik Shahih al-Bukhâri yaitu Ibnu Hajar al-Asqalani sebagai pengantar pemahaman awal sebelum kita membahasnya lebih lanjut.
Imam Bukhari menempatkan bab awal dalam kitabnya, Shahîh al-Bukhâri kitab masalah pakaian (al-libâs) yang ia beri judul “ قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللّهِ الَّتِيَ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ ” (Katakanlah barangsiapa yang mengharamkan perhiasan Allah yang diberikan oleh Allah pada hamba-Nya) [al-A’raf : 32]. Kemudian diikuti dengan sabda Nabi Saw. : ” ” كُلُوا وَاشْرَبُوا والبَسُوا وتَصَدَّقوا، فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ ولا مَخِيلَة (Makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlah tanpa berlebihan dan (didasari) kesombongan). Ibnu Hajar al-Asqalani berkata :
“Makhîlah َyang redaksi serta ejaannya seperti kata lain dalam bahasa Arab yaitu “’adzîmah” (keagungan), artinya adalah al-khuyalâ’ (kesombongan). Sedang padanan kata makhîlah ini sebagaimana tersebut dalam riwayat di atas (no.5) adalah al-bathar yang bermakna sombong/congkak (al-kibru) dan berjalan dengan berlagak sombong (al-tabakhtar). Al-bathar juga dapat diartikan sebagai kebingungan yang melanda orang yang sedang dikarunia nikmat, dikarenakan tidak dapat menempatkan dan mensyukuri nikmat tersebut. Maka al-bathar adalah suatu keadaan di mana seseorang menjadi paling rendah derajatnya karena tidak mampu mensyukuri nikmat Allah. (Fath al-Bâri, vol. 11, 430) Imam al-Bukhari kemudian meletakan riwayat dari Abu Bakar ra. (no. 4 di atas) dalam bab berjudul “
خُيَلاَء مِنْ غَيْر إزَارَه مَنْ جَرّ (Siapa yang menjulurkan sarungnya tanpa (didasari) kesombongan). Tambah Ibnu Hajar, “(Pengecualian) di atas adalah dibebaskannya dari ancaman neraka untuk orang yang menjulurkan kain/celana/sarung di bawah mata kaki tanpa didasari/bermotif kesombongan” (Fath al-Bâri, vol.11, 424). Sabda Nabi Saw. ini juga tidak hanya dimaksudkan untuk Abu Bakar ra., tetapi untuk siapa saja yang menjulurkan kain di bawah mata kaki tanpa (didasari) kesombongan. Setelah itu Imam al-Bukhari mendatangkan bab baru dalam kitab (masalah) pakaian yang ia beri judul
“الخيَلاء من ثوبَهُ مَنْ جَر” (siapa yang menjulurkan pakaiannya yang (didasari) kesombongan), lalu memasukan riwayat no. 1 di atas). Artinya, Imam al-Bukhari sudah mengelompokkan mana hadis-hadis yang membolehkan dan melarang isbâl dengan alasan/motif tertentu.
Selanjutnya, untuk memahami dan menganalisa hadis-hadis di atas perlu kita sedikit singgung bahasan apa itu muthlaq (selanjutnya ditulis mutlak) dan muqayyad. Mutlak dalam istilah ilmu ushul fikih adalah lafaz khusus yang menunjukan pada obyek perseorangan, kelompok, atau jenis tertentu, namun tidak dibatasi oleh sifat-sifat tertentu. Sedang muqayyad adalah lafaz khusus yang menunjukan pada obyek perseorangan, kelompok, atau jenis tertentu, namun dibatasi oleh sifat-sifat tertentu. Atau lafaz (khusus) yang menunjukan pada keterangan tertentu.
Dan hadis-hadis yang berbicara mengenai isbâl ini jika dikumpulkan bisa terbagi menjadi dua bagian. Pertama, hadis-hadis yang bersifat mutlak tanpa dibatasi oleh keterangan tertentu seperti motif sombong. Kedua, hadis-hadis yang muqayyad dengan taqyîd (batasan) motif sombong (khuyalâ’ dan al-bathar). Yang menjadi persoalan adalah apakah hadis-hadis yang mutlak di atas dapat dibawa/dipahami secara muqayyad?
Pendapat pertama mengatakan bahwa hadis-hadis di atas yang menjelaskan bahwa pernyataan “sesuatu yang di bawah mata kaki maka tempatnya adalah neraka” adalah mutlak dan tidak bisa dibatasi (taqyîd oleh pernyataan lain) karena hukumnya adalah di neraka dan hukum orang yang menyombongkan diri tidak akan dilihat oleh Allah pada hari kiamat nanti. Di sini terdapat dua hukum yang berbeda. Maka pernyataan yang mutlak tidak bisa dibatasi oleh pernyataan yang lain (Walid bin Muhammad Saif al-Nashr, al-Isbâl li-ghair al-Khuyalâ’, 1999: 20-21).
Sedang pendapat kedua cenderung membawa nash hadis yang mutlak kepada muqayyad. Imam an-Nawawi berkomentar, “Hadis-hadis yang bersifat mutlak (dalam hal ini) di mana sesuatu yang berada di bawah mata kaki tempatnya adalah di neraka, maksudnya adalah untuk orang-orang yang mendasarkan pada kesombongan karena sifatnya adalah mutlak, maka wajib membawanya kepada muqayyad.” (Nawawi, vol. 7, 313).
Selanjutnya, Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, “(Jelas) bahwa kemutlakan hadis di atas berupa ancaman dan celaan terhadap orang yang ber-isbâl menunjukan harus dibawa kepada muqayyad, maka tidak diharamkan ber-isbâl bagi siapa saja yang tidak didasari motif kesombongan” (Fath al-Bâri, vol.7, 113). Imam as-Syaukani berkomentar mengenai riwayat Ibnu Umar ra. di atas, “Wajib membawa hadis (dalil) yang mutlak pada hadis (dalil) yang muqayyad (yang disertai taqyîd) dalam bab isbâl ini.” (Nailul Authâr, vol. 2, 133) dan menambahkan dengan menyitir sebuah kaidah ushul fikih yaitu, حَمْلُ المُطْلَقِ عَلَى المُقَيَّدِ وَاجِبٌ”” (membawa mutlak pada muqayyad adalah wajib).
Dari sini dan sesuai dengan pendapat terakhir di atas, hemat kami untuk membawa dalil/nash-nash hadis tersebut kepada muqayyad dengan alasan hadis-hadis yang ada semuanya berbicara dalam satu topik/tema. Juga sebagaimana kaidah ushul fikih yang disitir oleh Imam as-Syaukani di atas.
Riwayat lain yang bisa digunakan sebagai taqyîd adalah seperti yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari dari Abi Bakrah ra.:
عن أبي بَكرةَ رضيَ الله عنه قال: «خَسَفتِ الشمسُ ونحن عندَ النبي صلى الله عليه وسلم، فقام يَجرُّ ثوبَه مستعجلاً حتى أتى المسجدَ، وثاب الناس، فصلى ركعتَين، فجليَ عنها. ثم أقبلَ علينا وقال: إن الشمسَ والقمرَ آيتانِ من آيات الله، فإذا رأيتم منها شيئاً فصلوا وادعوا الله حتى يكشِفها».(رواه البخاري ,كتاب اللباس, باب مَنْ جَرّ إزاره من غير خُيَلاء )
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Bakrah ra. berkata, “Telah terjadi gerhana matahari dan kami masih bersama Nabi Saw. Nabi pun berdiri (dalam keadaan) menjulurkan pakaiannya (berjalan) tergesa-gesa sehingga beliau sampai di masjid dan orang-orang telah berkumpul. Lalu beliau shalat dua rakaat (khusuf-shalat gerhana) hingga ia selesai. Kemudian menghadap kami dan bersabda: Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Jika kamu melihat tanda-tanda tersebut, shalat dan berdoalah pada Allah hingga tersingkap (terlihat matahari tersebut)” [HR. al-Bukhari kitab pakaian, bab siapa yang menjulurkan kainnya tanpa (didasari) kesombongan, no. 5652]
Di mana dari riwayat di atas terpahami bahwa Nabi Saw. pun pakaiannya yang panjang terjulur ketika beliau sedang berjalan meskipun tergesa-gesa. Artinya, untuk umatnya pun kejadian serupa tidak mengapa sebagaimana dalam kasus Abu Bakar (riwayat no. 4) di mana Nabi Saw. bersabda, “Engkau wahai Abu Bakar tidak termasuk orang yang sombong.” Maka yang dimaksud oleh Nabi Saw. dalam hal ini adalah al-khuyala’ dan al-kibru (kesombongan). Di mana keduanya menjadi ‘illat (alasan hukum) pengharaman, bukan sekedar menjulurkan/memanjangkan pakaian (isbâl).
Juga sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud.
عن أبِي تَمِيمَةَ الْهُجَيْمِيِّ عن جَابِرٍ ، ـ يَعني ابنَ سُلَيْمٍ ـ قال: «أتَيْتُ النَّبيَّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ مُحْتَبٍ بِشَمْلَةٍ وَقَدْ وَقَعَ هُدْبُهَا عَلَى قَدَمَيْهِ» (رواه أبو داود كتاب اللباس,باب في الهدب)
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Tamimah al-Hujaimi dari Jabir bin Sulaim berkata, “Aku mendatangi Nabi Saw. (yang sedang dalam keadaan) tertutup badannya dengan mantel (dari kain wol dan juluran kain tersebut hingga kedua kakinya” [HR. Abu Dawud, kitab pakaian, bab tepi kain, no. 4075]
Bagaimana dalam riwayat di atas, mantel yang digunakan oleh Rasul Saw. menjulur hingga kedua kakinya. Dan keadaan Rasulullah Saw dalam riwayat ini adalah biasa bukan tergesa-gesa sebagaimana riwayat sebelumnya. Demikian menguatkan bahwa memanjangkan kain tanpa didasari motif sombong tidak akan menyebabkan pelakunya diancam dengan ancaman sebagaimana tersebut dalam riwayat-riwayat di atas.
Selanjutnya perlu diingat, bahwa masalah pakaian, makanan, dan minuman, adalah termasuk masalah sosial-budaya dan atau tergantung kebiasaan di mana manusia berdomisili. Pakaian adalah termasuk urusan keduniawian yang hukum asalnya adalah mubah (dibolehkan). Maka, hemat kami hukum isbâl adalah mubah (boleh) dengan syarat tidak didasari oleh motif sombong. Juga jangan sampai kain (pakaian, celana, dan sarung) yang kita kenakan sampai menyentuh tanah. Demikian hikmahnya agar senantiasa kita menjaga kesucian pakaian yang kita kenakan.
Oleh karena itu, jangan sampai antar umat Islam terpecah belah, saling menuduh dan curiga, merasa paling benar (dengan tidak ber-isbâl) dan bahkan saling menghujat hanya karena masalah isbâl ini. Kita harus saling menghormati antara mereka yang mempraktikan isbâl dan yang tidak. Jika kita terus menerus saling menghujat dalam hal ini ditakutkan energi umat Islam akan cepat habis di wilayahnya sendiri. Padahal masih banyak masalah lain terutama keterbelakangan umat Islam dari berbagai segi, baik itu sosial, ekonomi, budaya, dan pengetahuan, membutuhkan kekuatan bersama umat Islam untuk mengatasi keterbelakangan tersebut.
Demikian, wallahu a’lam bi al-shawwâb.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 9 Tahun 2010