REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Pramono Ubaid Thantowi menyarankan honorarium badan ad hoc Pilkada 2024 dibebankan ke anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) provinsi. Menurutnya, hal ini dapat menyetarakan besaran upah penyelenggara ad hoc.
"Kalau boleh disarankan, sebaiknya honorarium badan ad hoc (PPK, PPS, KPPS, dan PPDP) itu dibebankan ke APBD provinsi, sehingga standar untuk semua kabupaten/kota di seluruh provinsi yang menyelenggarakan Pilgub," ujar Pramono kepada Republika.co.id, Selasa (5/4/2022).
Penyelenggara ad hoc yang dimaksud ialah Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), dan Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP). Pramono menjelaskan, honorarium badan ad hoc termasuk mata anggaran penyelenggaraan Pilkada sehingga bersumber dari APBD.
Namun masing-masing daerah bervariasi soal APBD mana yang menanggung, apakah APBD provinsi atau kabupaten/kota. Hal ini sangat tergantung pada kesepakatan sharing anggaran antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/pemerintah kota. "Karena honorarium badan ad hoc termasuk mata anggaran yang bisa dilakukan sharing," kata Pramono.
Menjelang Pilkada 2024, dia mengatakan, beberapa daerah mulai mengajukan usulan rancangan anggaran biaya (RAB) ke pemerintah daerah masing-masing. Dia mengingatkan agar KPU daerah perlu membuat perencanan anggaran yang matang, cermat, dan detail.
"Apa saja kebutuhan untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi, berapa kali dilaksanakan, berapa orang yang terlibat, dan lain-lain harus ter-cover dalam perencanaan anggaran," tutur dia.
Kemudian, KPU daerah perlu membuat perencanaan anggaran yang efektif dan efisien. Misalnya, jangan menyusun RAB dengan besaran usulan yang berlebihan, apalagi alokasinya untuk kegiatan-kegiatan-kegiatan yang tidak terkait langsung dengan pelaksanaan tahapan.