Sabtu 09 Apr 2022 07:35 WIB

Mafia Kelas Kakap Hingga Teri Permainkan Minyak Goreng?

Pelaku pasar mengemas minyak goreng curah jadi kemasan premium untuk meraup untung.

Red: Joko Sadewo
Pedagang menggoreng tahu untuk dijual di Pasar Baru, Jakarta Pusat, Jumat (8/4/2022). Pemerintah akan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng sebesar Rp300 ribu untuk tiga bulan sekaligus yaitu April, Mei, dan Juni kepada 20,5 juta keluarga yang termasuk dalam daftar Bantuan Pangan Non Tunai dan Program Keluarga Harapan serta 2,5 juta PKL yang berjualan makanan gorengan.
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Pedagang menggoreng tahu untuk dijual di Pasar Baru, Jakarta Pusat, Jumat (8/4/2022). Pemerintah akan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng sebesar Rp300 ribu untuk tiga bulan sekaligus yaitu April, Mei, dan Juni kepada 20,5 juta keluarga yang termasuk dalam daftar Bantuan Pangan Non Tunai dan Program Keluarga Harapan serta 2,5 juta PKL yang berjualan makanan gorengan.

Oleh : Nuraini, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Polemik minyak goreng terus bergulir seiring dengan pembaruan kebijakan pemerintah. Setelah menghapus ketentuan harga eceran tertinggi (HET) pada pertengahan Maret 2022, masalah minyak goreng tidak kunjung selesai. Stok minyak goreng terutama jenis kemasan yang mendadak membeludak usai harga diserahkan ke mekanisme pasar, tidak lantas membuat warga mudah mengakses komoditas ini. Warga terutama yang berpenghasilan rendah tak mampu menjangkau kenaikan 100 persen harga minyak goreng. Kondisi itu coba diatasi pemerintah dengan memberikan subsidi minyak goreng jenis curah sehingga harganya menjadi Rp 14.000 per liter. Apakah kebijakan itu berhasil mengatasi masalah harga minyak goreng

Kebijakan pemerintah terkait minyak goreng terbukti tidak bijak. Masyarakat menyerbu persediaan minyak goreng curah di pasaran. Sebagian warga harus rela antre panjang untuk membeli minyak goreng curah murah. Mereka adalah yang tidak mampu membeli minyak goreng kemasan, yang belakangan dilabeli premium. Di antara mereka adalah para pelaku usaha mikro, sebutlah para pedagang gorengan, pedagang kaki lima, dan lainnya yang selama ini menggantungkan rezekinya dari ketersediaan minyak goreng. 

Rebutan minyak goreng murah itu menciptakan kelas di antara pengguna. Bagi orang yang berduit bisa menjangkau minyak goreng kemasan. Sementara, mereka yang papa ditambah lagi bebannya dengan harus berebut minyak goreng. Operasi pasar yang digelar sejumlah pihak termasuk pemerintah daerah hingga partai politik hanya mampu memadamkan masalah lokal sesaat. Masalah utama harga minyak goreng mahal dan stok langka tidak selesai. 

Adanya kelas yang muncul dari minyak goreng kemasan memicu tumbuhnya praktik jahat para pencari untung. Mereka membungkus minyak goreng curah dalam kemasan merk premium untuk dijual dengan harga tinggi ke masyarakat. Praktik jahat bak mafia kelas teri itu diketahui oleh Polri yang menemukan adanya merk-merk baru minyak goreng kemasan di masyarakat. Padahal, isi dari kemasan itu berasal dari produsen minyak goreng murah. Merk baru itu tidak terdaftar dan tanpa izin edar. Polri menyebut praktik ini sebagai bentuk penipuan. Selain mengambil pasokan minyak goreng bagi masyarakat miskin, praktik itu juga merugikan negara karena penyaluran subsidi meleset dari sasaran. Dalam keterangan persnya pada Senin (4/4/2022), Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan akan menindak tegas praktik pengemasan ulang minyak goreng tersebut, tanpa merinci lebih jauh tindakannya.

Untuk mengawasi praktik-praktik jahat itu, Polri dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membentuk satuan tugas (satgas) bersama untuk mengawasi produksi dan distribusi minyak goreng curah. Tugas satgas itu menarget ketersediaan dan keterjangkauan harga minyak goreng. Tim akan menempatkan personel Polri dan petugas di pabrik-pabrik produksi dan perkantoran produsen minyak goreng di level pusat hingga daerah. Tim juga akan diterjukan ke lokasi depo minyak goreng, pasar, hingga pedagang eceran. 

Tugas Satgas itu tentu berat, karena praktik jahat tidak hanya mengemas ulang minyak goreng. Temuan Kemenperin mengungkap praktik produksi minyak goreng curah tidak sesuai kontrak. Pemerintah memberikan 72 kontrak kepada produsen minyak goreng curah. Sejumlah pemegang kontrak itu mencoba produksi minyak goreng curah tidak sesuai dengan nilai kontrak. Praktik-praktik kotor itu diperkirakan berdampak selain pada tingginya harga minyak goreng, juga akan ada pengalihan komoditas ini untuk industri menengah maupun besar. Warga miskin tetap tidak akan kebagian minyak goreng. 

Atas kondisi itu, pemerintah kemudian memiliki kebijakan mengucurkan bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng dengan nilai anggaran hingga Rp 6,9 triliun. Anggaran itu akan disalurkan kepada keluarga penerima manfaat (KPM) program bansos pemerintah sebesar Rp 6,15 triliun, dan Rp 750 miliar bagi pemilik warung dan pedagang kaki lima (PKL). Jumlah penerima BLT itu mencakup 20,5 juta KPM dalam program keluarga harapan dan kartu sembako. Sisanya, BLT akan disalurkan kepada 2,5 juta warung. Masing-masing penerima akan mendapatkan Rp 100.000 per bulan selama tiga bulan yang dibayarkan sekaligus pada April. Kebijakan ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah setelah tiga bulan dan BLT selesai, beban warga untuk mengakses minyak goreng akan teratasi?

Jawaban atas pertanyaan itu mudah ditebak karena kebijakan pemerintah tidak menyasar pada akar permasalahan penyebab tingginya harga dan langkanya minyak goreng. Pada 17 Maret 2022, dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memohon maaf karena tidak dapat mengontrol harga minyak goreng. Kebijakan untuk mengontrol harga minyak goreng di pasaran gagal karena ulah oknum mafia minyak goreng. Lutfi menyebut mafia itu sebagai manusia yang rakus dan jahat. Dia yakin ada upaya penyelundupan minyak goreng ke industri atau ke luar negeri. Meski tahu, Lutfi mengaku Kemendag tidak bisa melawan penyimpangan tersebut, yang mengindikasikan besarnya pengaruh mafia kelas kakap ini. Meski Lutfi kemudian menegaskan pemerintah tidak akan kalah dengan mafia, tetapi polemik berkepanjangan soal minyak goreng membuktikan sebaliknya. 

Masyarakat kelas bawah bisa jadi was-was menatap masa depan karena pasar dipenuhi berbagai praktik kotor dan jahat. Ulah jahat mafia memainkan harga minyak goreng direplikasi hingga tingkat bawah lewat praktik pengemasan. Tanpa adanya hukuman bagi mafia hingga penjahat lapangan, kita tinggal menunggu, setelah minyak goreng, komoditas apa lagi yang akan dipermainkan. Pandemi Covid-19 baru saja akan masuk masa pemulihan tapi ulah penjahat di negeri ini membuat penderitaan bisa semakin panjang. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement