REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Andi Suwirta, Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FPIPS UPI di Bandung.
Republika menurunkan berita “Nadiem Tolak Usulan PM Malaysia Jadikan Bahasa Melayu Bahasa Resmi ASEAN”. Adapun alasan penolakan, sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) itu, di antaranya karena perlu kajian mendalam mengingat Bahasa Melayu belum setanding dengan Bahasa Indonesia, yang sudah memiliki keunggulan historis, yuridis, dan linguistik (Republika, 5/4/2022).
Walaupun asal-usul Bahasa Indonesia dalam sejarahnya, berasal dari Bahasa Melayu tapi perkembangan Bahasa Indonesia sangat pesat dan jauh meninggalkan kedudukan dan peranan Bahasa Melayu di Malaysia. Di Indonesia, peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 adalah momentum penting untuk menjunjung Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Bahasa Indonesia dinyatakan dalam UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 sebagai bahasa negara. Dengan kedudukannya sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, Bahasa Indonesia digunakan oleh rakyat Indonesia dan para pejabat negara dari Sabang di Aceh hingga Merauke di Papua, dari dahulu hingga sekarang, dengan jumlah penutur lebih dari 273 juta orang, atau lebih dari setengah jumlah penduduk ASEAN.
Manakala di Malaysia, Bahasa Melayu belum menjadi bahasa persatuan dan bahasa negara. Walaupun dalam Konstitusi (Perlembagaan) Malaysia sejak merdeka, pada 31 Agustus 1957 dan 16 September 1963, dinyatakan Bahasa Melayu adalah bahasa kebangsaan – bahkan diperkuat oleh Akta Bahasa Kebangsaan pada 1967 – tapi hingga sekarang Bahasa Melayu belum berhasil menjadi “bahasa menunjukkan bangsa”.
Sebabnya, Malaysia adalah negara yang dihuni oleh tiga suku-bangsa atau ras bangsa besar, yakni Melayu, China, dan India. Ras China dan India memandang Bahasa Melayu adalah bahasa ibunda bagi bangsa Melayu saja dan tidak mau digunakan sebagai bahasa nasional oleh bangsa China dan India di Malaysia.
Lagi pula jumlah penduduk bangsa Melayu adalah hanya 60 persen dari jumlah penduduk Malaysia yang berjumlah 33 juta orang. Alhasil penutur Bahasa Melayu di Malaysia tidak melebihi 20 juta orang, atau kurang dari setengah jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat di Indonesia.
Sejarah Bahasa Melayu
Bahasa Melayu, yang merupakan cikal-bakal Bahasa Indonesia, memang memiliki sejarah yang panjang. Sejak zaman kerajaan Sriwijaya pada abad ke-8 Masehi, Bahasa Melayu sudah menjadi lingua franca, yakni sebuah bahasa yang berfungsi sebagai bahasa antara, atau bahasa pengantar, dan bahasa pergaulan.
Sejak dahulu sampai sekarang, kawasan Nusantara menjadi destinasi menarik bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia untuk melakukan aktivitas perdagangan, budaya, dakwah agama, hubungan diplomatik, dan bahkan politik. Dalam melakukan proses interaksi sosial dan komunikasi, Bahasa Melayu dijadikan lingua franca karena dinilai lebih mudah, fleksibel, dan egalitarian struktur bahasanya.
Di Indonesia sendiri, sebelum merdeka, Bahasa Melayu digunakan oleh berbagai suku-bangsa bila mereka berjumpa di ruang publik, khususnya pasar, sehingga dikenal istilah “Bahasa Melayu Pasar”. Dalam rangka mencari identitas ke-Indonesia-an dan perjuangan kemerdekaan, para tokoh pergerakan nasional di Indonesia menjadikan Bahasa Melayu sebagai media dan senjata perjuangan, serta mengubah nama Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka pula, Bahasa Indonesia diajarkan dan digunakan di lembaga pendidikan, sejak TK (Taman Kanak-kanak) hingga PT (Perguruan Tinggi) sebagai bahasa pengantar. Bahasa Indonesia juga wajib digunakan oleh para pejabat negara, dari Presiden hingga Kepala Desa, sebagai bahasa resmi pemerintahan.
Di Malaysia, Bahasa Melayu sangat berbeda keadaannya. Baik sebelum maupun sesudah merdeka, Bahasa Melayu belum berhasil menjadi bahasa kebangsaan dan bahasa negara yang sejati. Dalam bidang pendidikan dasar dan menengah, Bahasa Melayu hanya digunakan oleh murid-murid yang belajar di SJK (Sekolah Jenis Kebangsaan) Melayu.
Manakala SJK China dan SJK India lebih suka mengajarkan dan menggunakan Bahasa Mandarin dan Bahasa Tamil (India) sebagai bahasa pengantar. Bahkan para pemimpin dan warga Malaysia sendiri lebih sering dan bangga menggunakan Bahasa Inggris, sebagai bahasa ilmu dan bahasa internasional, daripada Bahasa Melayu yang masih dipandang sebagai bahasa ibu, bahasa rasa, dan bahasa daerah bagi suku-bangsa Melayu.