REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy / Redaktur Republika
Aksi massa 11 April 2022 dinodai tidakan berutal kepada dosen UI yang juga pegiat media sosial, Ade Armando. Yang membuat miris aksi pengeroyokan itu dilakukan pada bulan Ramadhan pada orang yang sedang berpuasa.
Tak hanya mengeroyok, sejumlah massa pun mempermalukan Ade dengan melucuti pakaiannya. Yang makin membuat miris adalah banyak warganet yang membenarkan aksi itu. Bahkan menjadikan aksi yang tidak berkeprimanusiaan itu sebagai lelucon.
Semua tentu didasari oleh rasa ketidaksukaan terhadap persona Ade Armando yang kerap bersuara vokal di media sosial. Jujur, saya pun kerap mengecam sejumlah pernyataan Ade Armando di media sosial. Namun menjadikan ketidaksepahaman sebagai alasan untuk membenarkan kekerasan adalah kemunafikan terhadap kemanusiaan. Sebab kemanusiaan itu tanpa syarat. Tak ada embel-embel yang membuat prinsip kemanusiaan bisa dinaikkan atau diturunkan dosisnya.
Mau siapapun manusianya, berhak dilindungi martabatnya sebagai manusia. Mau siapapun manusianya tidak berhak dianiaya dan dipermalukan dengan alasan apapun.
Tidak ada agama mana pun yang membenarkan kekerasan pada orang yang tak berdaya. Apalagi orang itu dikeroyok saat sedang beribadah puasa sebagai seorang Muslim. Jadi jika ada yang mengatakan Ade Armando pantas mendapat perlakuan seperti itu, maka yang berucap seperti itu jelas telah menistakan agama. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarga Ade Armando menyaksikan aksi keji yang menimpa sang dosen UI. Ade adalah seorang suami dan ayah yang tentu dibanggakan keluarganya. Tentu aksi keji ini tidak hanya melukai martabat Ade, melainkan juga keluarganya.
Saya jadi teringat aksi Will Smith yang menampar Chris Rock diajang penghargaan Oscar 2022. Mirip reaksi sejumlah warganet dalam kasus Ade Armando, banyak pula yang membenarkan aksi tamparan Will Smith. Alasan mereka yang mendukung Will Smith adalah tindakan itu dipicu ucapan Rock yang menyinggung istri Will, Jada-Pinkett Smith. Bahkan di akhir Oscar, Will Smith mendapat standing applause.
Hal yang tentu sangat memuakkan. Membenarkan kekerasan dengan alasan apapun adalah sebuah bentuk kemunafikan. Hal inilah yang juga kita bisa dapati dari reaksi sejumlah warganet merespons penganiayaan Ade.
Tidak ada alasan untuk membalas kebencian dengan kebencian. Membalas kebencian dengan kebencian, menurut seorang Martin Luther King adalah tindakan yang 'menambah gelap malam yang sudah tanpa bintang.'
Perumpamaan ini rasanya tepat dalam merespons peristiwa yang menimpa Ade Armando. Di saat orang-orang lantang berteriak HAM, malah sebagian yang berteriak itu malah membenarkan pelanggaran HAM pada sosok yang mereka tidak sukai.
Baca juga : Kapolda Metro: Kondisi Ade Armando Memprihatinkan
Saat kelompoknya mendapat tindak kekerasan justru mereka vokal bersuara, sebaliknya saat musuh kelompoknya terkena tindak kekerasan mereka tertawa. Inilah pangkal yang membuat nilai kemanusiaan di bangsa ini begitu rapuh. Sebab kemanusiaan belum dipandang sebagai hak universal manusia, melainkan hak eksklusif kelompok.
Omong kosong soal HAM ini yang mesti kita benahi. Mari kita menegakkan HAM sebagai nilai universal bagi setiap manusia. Tidak peduli siapapun dan apapun bentuknya, bentuk kekerasan pada seluruh makhluk harus ditolak. Sebab jika hari ini Ade Armando yang mengalaminya, esok hari bisa jadi kita. Sebab kita dan Ade, apapun warna politiknya, adalah sama-sama manusia.
Baca juga : Saat Ade Armando Dipukuli Massa Aksi di Depan Gedung DPR