Senin 18 Apr 2022 14:01 WIB

Ada Tiga Dimensi Perspektif Islam dalam Pembangunan Berkelanjutan

Diskusi Mingguan PTIQ kupas pembangunan berkelanjutan dalam perspektif Islam.

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan  IPB University, Prof  Dr Ir Rokhmin Dahuri MS menyampaikan materi pada Webinar  “Setnet Teknologi Penangkapan Ikan Masa Depan di Indonesia”, Sabtu (27/6).
Foto: Dok Pribadi Rokhmin Dahuri
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS menyampaikan materi pada Webinar “Setnet Teknologi Penangkapan Ikan Masa Depan di Indonesia”, Sabtu (27/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –Dalam aktivitas ekonomi, Islam memiliki tujuan materil (duniawi) dan akhirat (ukhrawi). Hal inilah yang membedakan Islam dengan kapitalisme yang hanya memandang kebahagiaan dari materil dan di dunia saja.

“Asas dasar sistem ekonomi dalam Islam tidak hanya menjadikan akal manusia sebagai landasan epistemologis satu-satunya, tetapi juga Alquran dan Hadits  sebagai yang utama,” kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS saat menjadi narasumber Diskusi Mingguan Edisi #6 yang diselenggarakan oleh   Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) dan Ibihtafsir.id secara daring pada Ahad (17/4).

Prof Rokhmin menambahkan, Islam adalah agama yang sangat memerhatikan pembangunan berkelanjutan.  “Ada tiga  dimensi perspektif Islam dalam pembangunan berkelanjutan. Yakni, world-view Islam,  tujuan ekonomi berkelanjutan dalam Islam, dan metode ekonomi berkelanjutan dalam Islam,” ujarnya.

Lebih lanjut, Prof Rokhmin menjelaskan, world-view Islam dalam ekonomi berkelanjutan  berdasarkan pada tiga konsep, yakni tauhid, khalifah dan adil. 

“Tauhid  merupakan hal yang paling penting, karena tauhid memberikan makna dan signifikansi terhadap ekistensi alam semesta, yang terdapat manusia di dalamnya. Dan, bahwa manusia dan alam semesta itu ciptaan Allah Azza wa Jalla,” kata Prof Rokhmin Dahuri seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id. 

Konsep khalifah adalah  sebagai pemelihara bumi dan tidak untuk sebaliknya yaitu menciptakan kerusakan dan pertumpahan darah.  Adapun adil, maksudnya sumberdaya alam ( SDA)  yang diciptakan Allah SWT merupakan modal atau perantara untuk mencapai kemakmuran atau yang disebutkan sebagai konsep falah. 

“Tanpa keadilan (adil terhadap manusia maupun alam), falah tidak akan pernah tercapai,” ujar  Rokhmin yang juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI).

Bicara tujuan ekonomi berkelanjutan dalam Islam, Rokhmin menegaskan, pembangunan ekonomi ditujukan untuk menyejahterakan seluruh umat manusia secara berkeadilan, dan harus dapat menciptakan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat serta kepentingan dunia dengan akhirat, yang selaras dengan ajaran agama Islam. “Dalam mencapai tujuan ini, hal yang penting untuk diperhatikan adalah metode pencapaiannya yaitu maqashid syari’ah (tujuan syariah),” tuturnya.

Sementara itu, terkait metode ekonomi berkelanjutan dalam Islam, kata Rokhmin, ada dua dimensi dalam menggunakan SDA.  Pertama, memobilisasi SDA yang bermaksud menghidupkan tanah mati dan memiliki sumber tersebut.

“Contoh: pemerintah dibolehkan mengambil alih tanah untuk pembangunan ekonomi yang bermanfaat bagi orang banyak,” ujar Rokhmin yang juga ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara).

Kedua, menghidupkan tanah mati dan memanfaatkan SDA yang menganggur untuk kemaslahatan manusia. “Hal ini termasuk tujuan dasar ekonomi Islam yaitu mencari kemaslahatan dan menjauhkan kerusakan (mafsadah) melalui penggunaan SDA secara optimal, keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan bagi setiap individu dan generasi, serta menghapus riba,” paparnya.

Rokhmin  lalu mengupas tiga  poin penting Quran Surah Al-Baqarah ayat 60. Yakni, Kekayaan alam yang ada di bumi merupakan pemberian dari Allah SWT yang diturunkan kepada umat manusia untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia;  Allah telah membagikan rezeki kepada 12 suku Bani Israil secara adil agar tidak berseteru.

“Hal ini merupakan simbolis dalam menciptakan keseimbangan sosial sehingga tidak terjadi ketimpangan; dan penegasan Allah SWT kepada manusia setelah diberikan karunia kekayaan alam, kemudian untuk menjaga lingkungan sekitar dan tidak membuat kerusakan di muka bumi,” paparnya.

Iajuga mengutip QS Al-Baqarah ayat 22 yang pesannya menegaskan bahwa dalam Islam, merawat alam dan lingkungan hidup untuk mewujudkan kesejahteraan bersama itu merupakan kewajiban bagi orang-orang beriman.

Rokhmin juga mengutip QS  Ar-Rum ayat 41 yang menegaskan bahwa Islam juga mengajarkan terkait larangan untuk mencemari dan merusak lingkungan hidup.

Rokhmin juga mengutip  hadits tentang pelestarian lingkungan hidup. Dari Anas bin Malik RA  Dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seorang Muslim pun yang menanam atau bercocok tanam, lalu tanamannya itu dimakan oleh burung, atau orang, atau binatang, melainkan hal itu menjadi shadaqah baginya.”  (HR. Bukhari)

Islam, kata Rokhmin mengutip sejumlah ayat Alquran dan Hadits,  mengajarkan paling beberapa hal berikut ini. Yakni, Islam mewajibkan umatnya untuk hidup sederhana, tidak boros;   makanlah pada saat lapar, dan berhentilah sebelum kenyang”. Sebab, kekenyangan  merupakan bagian dari perbuatan yang melampaui batas;  dan  tidak boleh membuang-buang air meski saat berwudlu, dan tidak memubazirkan SDA. 

Selain itu, menumpuk harta, mencari dan membelanjakan harta secara haram pun dilarang oleh Allah SWT;  Sebaliknya, umat Islam diwajibkan untuk berbagi harta, ilmu, dan rezeki lainnya kepada sesama insan yang membutuhkan pertolongan, kaum fakir, miskin, dan musafir.

Islam juga mewajibkan umatnya untuk berlaku jujur, adil, dan menyayangi sesama, rahmatan lil a’lamin;  Islam mewajibkan muslim untuk memelihara dan meningkatkan DDL (daya dukung lingkungan)  bumi, dan membatasi permintaan terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan; dan  bagi umat Islam, merawat bumi dan melestarikan lingkungan hidup juga merupakan salah satu wujud ibadah kepada Allah Azza wa Jalla, Tuhan Yang Menciptakan manusia dan alam semesta.

“Dalam Islam, pahala (reward) bagi seseorang yang menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya itu bukan hanya berlaku di dunia, tetapi juga di akhirat.  Di mana, balasan bagi mereka yang menjalankan perintah Allah adalah surga berupa kenikmatan dan kebahagiaan sepanjang masa. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak menunaikan perintah Allah atau melanggar larangan-Nya akan menjadi penghuni neraka berupa azab dan penderitaan abadi,” papar Rokhmin yang juga  Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024.

Di akhir makalahnya, Rokhmin menyimpulkan: segera ganti sistem apitalisme dengan sistem Pancasila ( yang sesuai dengan nilai-nilai Islam).  Hal itu dilkukan melalui dua langkah berikut.  Pertama, pemanfaatan dan pengelolaan SDA (ESDM, kehutanan, perkebunan, tanah, dan air) harus dilakukan oleh negara (BUMN) untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33, UUD 1945).

“Kedua, aset ekonomi produktif seperti modal, infrastruktur, teknologi, pasar, dan informasi harus mudah diakses oleh seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan. Tidak seperti selama ini, rakyat kecil sangat susah mendapatkannya,” kata  Prof Rokhmin Dahuri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement