REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) disebut perlu memberikan perhatian pada penguatan terhadap hal fundamental dalam penciptaan kesejahteraan individual dan sosial bagi peserta didik. Aturan itu nantinya dapat memberikan penekanan terhadap nilai-nilai spiritualitas yang tidak lepas dari proses dan poros pendidikan.
"Kami memandang bahwa RUU Sisdiknas ini perlu memberikan perhatian terhadap penguatan terhadap hal yang fundamental dalam penciptaan kesejahteraan individualnya dan sosial," ujar Ketua Umum LP Ma'arif Nahdlatul Ulama, Muhammad Ali Ramdhani, dalam webinar, Kamis (21/4/2022).
Ali menjelaskan, manusia hidup tidak sekadar di dunia, tapi juga memiliki kehidupan yang lebih abadi, yaitu di akhirat. Karena itu, dia menilai penciptaan hal yang terkait dengan itu perlu dilakukan bagi siswa-siswa di Indonesia sehingga mereka tidak sekadar bahagia di dunia, tapi juga di akhirat.
"Maka kita perlu menciptakan well-being bagi student-student atau siswa-siswa kita. Itu tidak sekadar mereka bahagia di dunia, tapi juga di akhirat," kata dia.
Di samping itu, dia juga menerangkan, sebuah kebijakan pendidikan itu paling tidak harus memiliki lingkup tiga hal. Pertama, kebijakan itu harus memberikan rekognisi atau pengakuan terhadap upaya-upaya pembelajaran.
Ali melihat, RUU Sisdiknas sudah berusaha melakukan hal tersebut. "Kami sungguh memberikan apresiasi terhadap rancangan yang telah memberikan ruang pada setiap lembaga pendidikan keagamaan, baik dia pesantren maupun madrasah," jelas dia.
Dia menilai, pada aturan tersebut terdapat asumsi yang baik bahwa memandang seluruh lembaga pendidikan itu memiliki hasrat untuk menciptakan anak-anak bangsa yang baik. Namun, bukan berarti kemudian disetarakan dengan pendidikan formal, tetapi berbasis pada standar pendidikan nasional.
"Ini adalah salah satu jalur untuk memberikan penghormatan terhadap upaya-upaya dari setiap warga bangsa. Karena seperti apapun kalau kita bicara pesantren pada hari ini pesantren dari sisi standar sarana dan prasarana boleh jadi tidak memadai. Tapi capaian pembelajarannya sungguh luar biasa," terang dia.
Lingkup kedua, sebuah kebijakan itu harus memberikan afirmasi. Di mana kebijakan itu memberikan ruang tanpa diskriminasi dari sisi ekonomi, keterbatasan fisik, hingga memberikan afirmasi terhadap mereka yang memiliki kemampuan luar biasa.
"Tidak sekadar memberikan ruang pendidikan yang luas kepada mereka yang tidak beruntung. Tapi mereka yang luar biasa pun harus diberikan afirmasi," jelas dia.
Lingkup ketiga, kata dia, kebijakan pendidikan harus memberikan ruang bagi pemberian fasilitas dari negara atau kehadiran negara bagi lembaga-lembaga pendidikan. Tentu saja, kata dia, fasilitasi itu tidak sekadar hanya diterjemahkan pada ruang-ruang yang terlihat saja.
"Tidak hanya sekadar yang tangible, tapi juga ruang-ruang yang intangible (tak berwujud). Bagaimana kemudian negara hadir mengungkit kapasitas guru dan lain sebagainya," jelas dia.