Sabtu 30 Apr 2022 02:16 WIB

Menghentikan Ekspor Minyak Goreng, Apakah Masalah Selesai?

Ekspor Indonesia masih ditopang sektor nonmigas, terutama mineral dan kelapa sawit.

Pelaksanaan operasi pasar minyak goreng curah di Gedung Serbaguna, Lapangan Denggung Sleman.  Pemerintah melarang ekspor minyak goreng.
Foto: Wahyu Suryana
Pelaksanaan operasi pasar minyak goreng curah di Gedung Serbaguna, Lapangan Denggung Sleman. Pemerintah melarang ekspor minyak goreng.

Oleh : Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah telah melarang ekspor minyak goreng dan bahan baku minyak goreng untuk sementara waktu. Larangan ini berlaku sampai dengan pasokan di dalam negeri dan harga migor curah kembali ke Rp 14 ribu per liter.

Langkah tegas pemerintah bukan tanpa alasan. Berulangkali operasi pasar dilakukan, namun harga tak juga turun. Ibarat peribahasa operasi pasar ini 'bak menggarami lautan'. Alih-alih turun, pasokan menjadi langka.

Lantas apakah dengan menghentikan ekspor minyak goreng semua masalah akan selesai?

Ada sejumlah hal yang perlu dilihat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, akan sangat sulit untuk menjalankan harga subsidi minyak goreng curah 14 ribu per liter, jika harga minyak goreng kemasan mencapai Rp 28 ribu per liter.

Disparitas kedua harga tersebut terlalu jauh. Kesenjangan itu mendorong perilaku tidak menyehatkan. Kasus kejahatan minyak goreng kemasan oplosan akan terus bermunculan karena potensi cuannya cukup besar.

Minyak goreng curah dikemas dengan rapih lalu dijual dengan harga kemasan. Mabes Polri sadar akan hal ini. Bahkan Kapolri pernah mengatakan, modus pengemasan ulang itu memunculkan merk-merk baru yang selama ini tidak pernah terlihat di pasaran.    

Penulis pernah membeli merk kemasan yang jarang ada di pasar, dan benar saja ketika digoreng makanan terlalu berminyak. Kemudian minyaknya juga cepat hitam. Jika menengok ke belakang, sejatinya minyak goreng  curah sudah perlahan dihapus. Faktor kesehatan menjadi salah satu alasan utama penghapusan migor curah.

Minyak goreng ini tidak memiliki standardisasi kesehatan.  Penggunaan migor curah berlebihan berujung pada kualitas kesehatan masyarakat yang menurun dan ujungnya menjadi beban buat anggaran negara.

Faktor kedua yang perlu dilihat soal sengkarut harga minyak goreng ini adalah skema perdagangan bebas. Jika menganut mekanisme pasar, maka harga minyak goreng kemasan akan mengikuti harga internasional.Jika crudel palm oil (CPO) dunia naik, maka harga minyak goreng di Indonesia juga melejit, tak peduli status RI sebagai produsen terbesar.  Para pengusaha sawit tentuk banyak lebih memilih menjualnya ke luar.

Di sisi lain, Indonesia juga mendapat windfall dari kenaikan harganya minyak sawit yang salah satunya dipicu oleh perang Rusia dan Ukraina. Tengok saja ekspor RI yang terus mencatat rekor, bahkan pada Maret 2022 tercatat sebagai yang tertinggi sepanjang sejarah.

Nilai ekspor RI mencapai 26,6 miliar dolar AS atau meningkat 44,36 persen (year to year). Salah satu penyumbang terbesar yakni ekspor nonmigas yang secara month to month naik hingga 54,45 persen. Belum lagi pendapatan dari sektor pajak dan bea keluar.

Oleh karena itu jika ekspor minyak goreng dan bahan baku minyak goreng dihentikan, maka secara otomatis akan mengganggu kinerja ekspor Indonesia. Ujung-ujungnya akan berdampak pada pundi-pundi devisa dalam negeri.  Padahal devisa itu sangat dibutuhkan baik sebagai cadangan maupun pembayaran utang. Ada analis yang memperkirakan potensi kehilangan pendapatan Ri mencapai 3 miliar dolar AS atau sekitar Rp 42,9 triliun per bulan.   

Di sinilah problemnya, penghentian ekspor sepertinya sulit akan berlangsung dalam jangka cukup lama karena akan memengaruhi cashflow Indonesia. Seperti diketahui Indonesia merupakan negara penghasil CPO terbesar di dunia yang menjadi bahan baku utama minyak goreng.

Pada 2019, Departemen Pertanian AS menyebut produksi sawit dari Indonesia mencapai 42,5 juta metrik ton atau 58 persen pasokan global. Pada 2021 angkanya bertambah mencapai 44,5 juta metrik ton. Pun halnya dari luasan kebun sawit, jika pada 2015 luas lahan kelapa sawit 11,26 juta hektare lahan, maka pada 2020 angkanya menyentuh 14,858 juta hektar lahan. Terbesar ada di Riau yang mencapai 2,85 juta hektar.

Lalu langkah apa yang perlu didorong agar harga minyak goreng dalam negeri kembali terjangkau dan pendapatan RI dari CPO tetap mulus? 

Kebijakan Presiden RI untuk menghentikan ekspor minyak goreng dan bahan baku migor bisa terus dilanjutkan, namun harus ditetapkan target yang jelas. Sampai kapan akan berakhir. Upaya penegakan hukum juga terus dilakukan bagi mereka  yang melanggar aturan baik itu produsen sawit maupun pejabat pemerintah.

Gerak cepat Kejaksaan Agung mengungkap skandal dugaan suap minyak goreng yang melibatkan pejabat di Kemendag dan petinggi di sejumlah perusahaan sawit patut dipuji. Namun hal itu belumlah cukup.  Jika terbukti bersalah, mereka harus diganjar dengan hukuman berat. Bila perusahaan terlibat, maka jangan segan untuk mencabut izinnya. Semua harus dibuat jera agar tidak terjadi lagi kasus serupa.

Kedua yang perlu ditekankan adalah dengan memastikan pasokan minyak goreng di dalam negeri aman. Artinya, produsen sawit harus diberikan garis tegas bahwa kebutuhan lokal harus diutamakan terlebih dahulu. Jika kebutuhan dalam negeri cukup, selanjutnya baru diekspor, bukan sebaliknya.

Ketiga mengupayakan agar gap antara minyak goreng kemasan dan minyak goreng curah tidak terlalu jauh. Keempat, jika program BLT minyak goreng dilanjutkan, maka penyalurannya harus lebih terarah. Artinya, perlu didorong agar bantuan langsung tunai itu benar-benar dipakai buat beli minyak. Caranya, bisa dengan bantuan langsung minyak. Indonesia bisa mencontoh Malaysia yang telah membuat skema khusus pemberian subsidi minyak goreng.  

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement