Senin 02 May 2022 20:13 WIB

Virus Corona Ditemukan di Tinja Pasien Tujuh Bulan Setelah Infeksi

Virus yang ditemukan pada tinja dialami pasien Covid-19 dengan gejala diare.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Virus yang ditemukan pada tinja dialami pasien Covid-19 dengan gejala diare.
Foto: www.pixahive.com
Virus yang ditemukan pada tinja dialami pasien Covid-19 dengan gejala diare.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ilmuwan memperkirakan bahwa 11 hingga 18 persen orang yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 mengalami gejala gastrointestinal (GI) seperti mual, muntah, dan diare. Penelitian telah mendeteksi RNA SARS-CoV-2, yang merupakan virus penyebab COVID-19, dalam sampel tinja dari hingga 85 persen orang yang dirawat di rumah sakit dengan penyakit tersebut.

Namun, hingga saat ini sedikit yang diketahui tentang apakah orang yang hanya mengalami gejala ringan Covid-19 juga melepaskan RNA virus dalam tinjanya, dan untuk berapa lama.

Baca Juga

Sebuah studi baru oleh para peneliti di Stanford Medical di Stanford, menganalisis sampel tinja dari 113 orang dengan Covid-19 ringan hingga sedang. Mereka mendeteksi fragmen RNA dari SARS-CoV-2 pada tinja sekitar setengah dari peserta uji dalam waktu seminggu setelah diagnosis mereka.

Setelah 4 bulan, para ilmuwan tidak dapat mendeteksi RNA virus melalui tes usap hidung dari subjek manapun. Namun, 12,7 persen dari mereka terus melepaskan RNS virus dalam tinjanya. Lalu 3,8 persen dari semua peserta masih memiliki RNA virus dalam tinja mereka 7 bulan setelah diagnosis Covid-19.

Peserta yang mengeluarkan RNA virus di tinja mereka lebih cenderung memiliki gejala GI yang menetap yaitu mual, sakit perut, dan muntah. Menariknya, tidak ada hubungan antara diare dan keberadaan RNA virus.

Apakah reservoir virus menyebabkan long covid? Hasil studi menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 menginfeksi usus, dan infeksi berlanjut pada beberapa individu yang mengalami gejala long covid.

“Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang menyebabkan long covid,” kata penulis senior Dr Ami Bhatt, yang merupakan profesor kedokteran dan genetika di Stanford Medicine di Stanford, CA.

“Mungkin long covid dan berbagai gejala yang ditimbulkannya disebabkan oleh respons sistem kekebalan terhadap protein virus di reservoir tersembunyi di seluruh tubuh,” tambah dia seperti dilansir dari Medical News Today, Senin (2/5/2022).

Misalnya, dia berspekulasi bahwa orang dengan long covid yang mengalami gejala kognitif kabut otak dapat memiliki infeksi SARS-CoV-2 yang bertahan lama di sistem saraf mereka. Secara teori, fragmen RNA yang mereka deteksi dalam tinja bisa berasal dari reservoir virus selain usus. Misalnya, orang bisa menelan virus dari saluran pernapasannya. Namun, Prof. Bratt mengatakan bahwa ini tidak mungkin.

“Satu hal menarik yang kami temukan adalah bahwa pelepasan GI berlanjut setelah saluran pernapasan diuji negatif, jadi kami berpikir bahwa pelepasan usus sebagai akibat dari menelan virus lebih kecil kemungkinannya di kemudian hari setelah infeksi awal,” kata dia.

Komunitas mikroorganisme yang hidup di usus, yang secara kolektif dikenal sebagai mikrobioma usus, dapat membantu menentukan apakah infeksi SARS-CoV-2 dapat bertahan di sana. “Saya pikir ini adalah hipotesis yang menarik dan yang sedang kami dan yang lainnya sedang uji,” kata Prof Bhatt.

Berbicara soal cara kerja studi, para peneliti menggunakan data dari uji klinis di Stanford Medicine tentang interferon lambda, yang merupakan pengobatan yang mungkin untuk COVID-19 ringan. Percobaan melibatkan pengumpulan sampel tinja dan pernapasan dari pasien pada waktu tertentu setelah diagnosis mereka.

Obat itu tidak mempersingkat waktu pasien mengeluarkan virus dari saluran pernapasan mereka dibandingkan dengan plasebo. Tapi itu memberi Prof Bhatt dan rekan-rekannya data yang dibutuhkan untuk menyelidiki kemungkinan hubungan antara pelepasan RNA virus yang berkelanjutan dalam tinja dan gejala GI yang masih ada.

Prof Bhatt juga melaporkan beberapa keterbatasan penelitian. Misalnya, mereka tidak dapat mengumpulkan sampel tinja dengan cara yang memungkinkan untuk memulihkan partikel virus yang layak.

Peserta menggunakan kit untuk mengumpulkan sampel sendiri di rumah, kemudian mengirimkannya ke peneliti. Untuk memastikan keamanan, kit dirancang untuk menonaktifkan virus. Namun, mereka mencatat bahwa laporan otopsi dan biopsi baru-baru ini telah memberikan beberapa bukti bahwa SARS-CoV-2 dapat menginfeksi usus.

Selain itu, mereka menulis bahwa coronavirus lain yang terkait erat dengan SARS-CoV-2 diketahui menginfeksi jaringan pernapasan dan GI pada sapi dan manusia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement