REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pengamat Pendidikan dari UIN Jakarta Jejen Musfah menanggapi terkait Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santosa Purwokartiko yang diduga menjurus pada muatan diskriminasi suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Menurutnya, apa yang dilakukannya jelas tidak sesuai dengan keilmuan, etika, dan sikap seorang pemimpin yang seharusnya menjadi teladan nilai.
"Tulisan bermuatan sara itu disayangkan apalagi yang bersangkutan seorang guru besar dan rektor. Tidak tepat menghubungkan kecerdasan akademik dengan cara berpakaian dan sikap pemeluk Islam serta demo," katanya saat dihubungi Republika.co.id pada Rabu (4/5/2022).
Kemudian, ia melanjutkan keliru juga menilai bahwa generasi unggul masa depan diukur dari lulusan luar negeri dan kecerdasan intelektual. Riset menunjukkan bahwa kesuksesan seseorang lebih dipengaruhi oleh kecerdasan emosional dan spiritual.
"Yang bersangkutan harus diproses sesuai peraturan yang ada. Karena perbuatannya tidak sesuai dengan jabatan yang ia peroleh," kata dia.
Sebelumnya diketahui, terdapat tulisan Budi Santoso Purwokartiko yang kontroversial:
Saya berkesempatan mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri. Program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa. Mereka adalah anak-anak pinter yang punya kemampuan luar biasa. Jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5 persen sisi kanan populasi mahasiswa.
Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo. Yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3.5 bahkan beberapa 3.8, dan 3.9. Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8.5, bahkan 9. Duolingo bisa mencapai 140, 145, bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100). Luar biasa. Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan, dan asisten lab atau asisten dosen.
Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi: apa cita-citanya, minatnya, usaha-usaha untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dan sebagainya. Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dan sebagainya.
Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi-posisi di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang. Dan kebetulan dari 16 yang saya harus wawancara, hanya ada dua cowok dan sisanya cewek.
Dari 14, ada dua tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar-benar open mind. Mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju, seperti Korea, Eropa Barat dan US, bukan ke negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa karya teknologi.