Ahad 08 May 2022 20:18 WIB

Badai Inflasi Mulai Menghantam Dunia

Invasi Rusia ke Ukraina dan sanksi berikutnya menyebabkan gangguan tajam dalam pasar

Inflasi, ilustrasi
Foto: Pengertian-Definisi.Blogspot.com
Inflasi, ilustrasi

Oleh : Nidia Zuraya, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Level inflasi mencatatkan nilai tinggi di beberapa negara dunia. Amerika Serikat (AS), misalnya, mengalami Inflasi tertinggi selama setahun terakhir.

Harga konsumen bulanan AS naik paling tinggi dalam 16,5 tahun terakhir pada Maret 2022. Laporan Consumer Price Index (CPI) AS mencatat inflasi sebesar 8,5 persen (yoy) pada Maret 2022, naik dari bulan sebelumnya yang sebesar 7,9 persen.

Laporan CPI dari Departemen Tenaga Kerja AS pada 12 April lalu menyatakan inflasi memuncak secara tahunan pada laju tercepatnya sejak akhir tahun 1981. Tekanan inflasi secara bulanan berkurang karena sejumlah harga dalam komponen inflasi inti turun paling dalam dalam dua tahun.

Sementara itu di 19 negara yang menggunakan euro, inflasi mencapai rekor pada April. Hal ini karena meroketnya harga bahan bakar yang didorong oleh perang di Ukraina membebani pemulihan ekonomi kawasan itu dari pandemi virus corona.

Inflasi tahunan mencapai 7,5 persen pada bulan tersebut, melampaui rekor lama 7,4 persen dari Maret 2022. Angka April merupakan rekor keenam berturut-turut yang dilaporkan di zona euro.

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan inflasi negara berkembang bisa naik mencapai 8,7 persen pada tahun ini. Begitu pula dengan negara maju yang akan mencapai 5,7 persen.

Penyebab kenaikan inflasi tersebut adalah invasi Rusia ke Ukraina dan sanksi berikutnya atas konflik kedua negara yang menyebabkan gangguan tajam dalam pasar komoditas global. First Deputy Managing Director IMF Gita Gopinath mengatakan, kenaikan harga energi dan pangan menambah tekanan inflasi di saat tekanan inflasi sudah cukup tinggi di banyak negara di dunia.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, inflasi yang terus meningkat jadi ancaman tersendiri bagi negara berkembang. Apalagi, mereka memiliki fiskal terbatas.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan laju inflasi nasional sepanjang Maret 2022 tembus 0,66 persen. Angka inflasi itu tercatat merupakan yang tertinggi sejak bulan Mei 2019 lalu yang sempat mencapai 0,68 persen.

Dengan tingkat inflasi tersebut maka inflasi tahun kalender mencapai 1,2 persen (year to date/ytd) dan inflasi tahunan sebesar 2,6 persen (year on year/yoy). BPS mencatat, inflasi secara tahunan kalau dilihat ke belakang ini merupakan yang tertinggi sejak April 2020 di mana saat itu inflasi sebesar 2,67 persen yoy.

Minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) menjadi salah satu komoditas pangan penyumbang inflasi di dalam negeri. Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) memproyeksi harga CPO masih akan tinggi hingga akhir tahun.

Harga tertinggi CPO diperkirakan bisa mencapai 1.700 dolar AS per ton atau senilai Rp 20 ribu per kilogram (kg). Karena itu, kebijakan yang diperlukan untuk menjaga harga minyak goreng, sebagai salah satu produk jadi dari CPO dengan tetap menyediakan subsidi khusus agar harga minyak goreng curah bisa sesuai harga eceran tertinggi (HET) Rp 14 ribu per liter.

Menurut DMSI, subsidi yang diperlukan tidak begitu besar. Pasalnya, kebutuhan minyak goreng curah per tahun pun hanya sekitar 2,3 juta ton. Di sisi lain, dana pungutan ekspor sawit oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pun telah dinaikkan dari 175 dolar AS per ton menjadi 375 dolar AS per ton.

Selain menerapkan kebijakan HET, untuk menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya. Namun, sayangnya peran pemerintah dalam menstabilkan harga minyak goreng di pasar dirasa kurang greget. Hingga hari ini, harga minyak goreng curah masih di atas HET.

Tak hanya minyak goreng, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022 dinilai berpotensi memicu inflasi. Di luar itu, secara bersamaan mulai 1 Mei 2022, pemerintah juga mengenakan pungutan pajak untuk berbagai macam layanan financial technology (fintech).

Berbagai pungutan pajak baru dan kenaikan PPN ini diharapkan tidak berdampak signifikan terhadap kenaikan harga barang dan jasa. Dengan begitu, laju kenaikan inflasi dapat direm.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement