Kamis 12 May 2022 17:05 WIB

Reformasi Mental Pasca-Ramadhan

Ramadhan semestinya memperbaiki moral dan mental kita.

Warga mengambil bungkusan bahan makanan gratis yang ditempel di tembok di Kampung Menayu, Magelang, Jawa Tengah, Ahad (17/5). Masyarakat bersedekah untuk membantu warga lain yang kesulitan di masa ekonomi sulit.  (ilustrasi)
Foto: Wihdan Hidayat/ Republika
Warga mengambil bungkusan bahan makanan gratis yang ditempel di tembok di Kampung Menayu, Magelang, Jawa Tengah, Ahad (17/5). Masyarakat bersedekah untuk membantu warga lain yang kesulitan di masa ekonomi sulit. (ilustrasi)

Oleh : Prof.Dr. Hamka Haq, MA, Ketua Umum Baitul Muslimin Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, Ramadhan telah berlalu, bulan di mana mental manusia diasah untuk lebih peka terhadap soal-soal kemanusiaan.  Mari kita berpikir sejenak, apa dampak Ramadhan bagi kita umat Islam dalam perbaikan moral dan mental kita, yang dalam bahasa religinya disebut Muttaqin.  Persoalannya ialah apa manfaat dari amaliyah Ramadhan pada kehidupan sehari-hari kita selanjutnya? 

Puasa telah melatih kita untuk berperilaku jujur. Tidak ada orang berpuasa dengan sengaja mengelabui orang-orang sekitarnya, sebab puasa disaksikan sendiri oleh Allah SWT. Jadi dampak puasa ialah kejujuran. Begitu pentingnya kejujuran pada kebenaran, maka salah satu sifat khas Rasulullah ialah al-shiddiq, yakni jujur dan teguh pada kebenaran. Pemimpin yang jujur akan melayani rakyat dengan nyaman, tanpa korupsi; rakyat yang jujur akan pasti taat pada aturan dan tidak saling merampas hak-hak sesamanya; para tokoh elit yang jujur tidak akan menghasut rakyat; para sumber berita dan netizen di medsos tidak akan mudah mengumbar berita bohong dan fitnah yang meresahkan masyarakat.  Pokoknya, kejujuran adalah sumber kemaslahatan, sumber keamanan yang melindungi masyarakat, sehingga masyarakat merasa nyaman dan aman dalam hidupnya.

Jadi kemakmuran itu, kunci utamanya ialah kejujuran.  Pengalaman masyarakat di negara-negara maju membuktikan hal itu.  Peneliti sosial ekonomi menyebut negara Denmark dan New Zealand sebagai contoh, penduduknya memperoleh pendapatan tertinggi, dan merupakan negara yang paling makmur di dunia.  Mereka mencapai kemakmuran bukan karena semua warganya berpendidikan tinggi, melainkan karena percaya bahwa kejujuran adalah faktor utama mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran itu.  Orang Denmark, Finlandia dan New Zealand, sangat yakin bahwa kejujuran adalah awal dari semua kenyamanan dan keamanan dalam hidup, dan bukannya kepintaran.

Dalam suatu kesempatan menyertai peserta Nisham Forum, Seminar Internasional tentang Kong Hu Chu dan agama-agama Dunia di Tiongkok, bersama Presiden ke-5 RI, salah seorang teman kehilangan bagasi, namun akhirnya bagasi ditemukan kembali dengan utuh, bahkan langsung dijumpai di hotel tempat kami menginap.  Seperti pula pengalaman teman lain ketika berkunjung ke Jepang, Korea, Australia dan Saudi Arabiah.  Barang-barang yang sempat hilang di air port, atau di mal, asal dilapor ke petugas security, pada umumnya dapat ditemukan kembali.   Sampai ada ungkapan, barang yang hilang di negeri tersebut dapat ditemukan; sebaliknya di Indonesia, barang-barang yang nyata-nyata ada dapat hilang melayang, padahal kita di sini hampir 90% menganut Islam.

Untuk itu kita perlu mengevaluasi sejauh mana nilai keislaman kita dalam kehidupan sehari-hari, khususnya nilai kejujuran dari ibadah puasa kita.  Alangkah bahagianya jika kita dapat menerapkan kejujuran itu dalam kehidupan sehari-hari kita, dengan prinsip jujur itu indah, dan diridhoi Allah SWT.

Selain kejujuran, Ramadhan juga memberi pendidikan kedisiplinan, tak ada yang berani melanggar aturan puasa.  Namun, bangsa kita pun belum menjadikan kedisiplinan sebagai budaya sehari-hari.  Di lapisan atas, pejabat-pejabat melanggar sumpah jabatan, melakukan korupsi di tengah kehidupan rakyat yang susah.  Masyarakat lapisan bawah pun masih banyak berperilaku tak disiplin; banyak kecelakaan terjadi akibat ketidakdisipilinan berlalu lintas, pencurian aliran listrik mengakibatkaan kebakaran, berjualan di trortoar mengganggu pengguna jalan, unjuk rasa yang tidak disiplin merusak fasilitas umum.

Sedikit ilustrasi, dalam suatu kunjungan kerja DPR RI ke Amerika, penulis terkagum-kagum menyaksikan Penasehat Khusus Menlu Amerika Serikat, Judith E. Heumann, beliau sangat patuh pada aturan yang dibuat bawahannya sendiri.  Bayangkan, pada sesi foto bersama, dia harus minta izin dahulu pada staf security.  Dia tidak serta merta sok kuasa untuk langsung berfoto tanpa izin dari stafnya itu.  Prinsipnya, semua harus berlaku sesuai aturan, karena mereka adalah sama di depan hukum dan aturan.  Bandingkan dengan perilaku sebagian petinggi kita di Indonesia yang masihn sering tidak peduli pada aturan, dengan katanya membuat kebijakan walaupun nyata-nyata kebijakannya bertentangan dengan hukum dan aturan.

Sisi lain dari kedisiplinan ini ialah menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan. Kebiasaan membuang sampah sembarangan di jalan ataupun di kali tanpa memikir akibatnya, menunjukkan rendahnya perilaku disiplin.  Tengoklah selokan-selokan dan sungai-sungai dalam kota, penuh sampah yang menyengat hidung.  Tidak hanya di Indonesia, kebiasaan buruk itu juga ditemukan di sejumlah negara Islam.  Padahal para ulama mengajarkan hukum Islam, memulai dari Bab Thaharah, yaitu bab tentang kebersihan.  Kualitas keislaman kita masih formalitas, memahami kebersihan sebatas wudhu dan mandi sebelum sholat.  Belum membumi dalam kehidupan sehari-hari.

Keadaan tersebut di atas sangat kontras dengan bersihnya parit-parit dan selokan di kota Bangkok misalnya, begitu juga toilet di sejumlah rest area antarkota di Amerika dan Tiongkok.  Serasa kita tidak berurusan dengan najis, tetapi betul-betul melepas lelah yang menyenangkan, sesuai dengan namanya rest room dan rest area.  Hal itu karena mereka mengamalkan nilai kebersihan yang Islami walaupun bukan Muslim.

Pengalaman lain, ketika menyertai tim lintas agama berkunjung ke beberapa negara Eropah sepuluh tahun yang lalu, naik bus dari Belanda sampai Vatikan, melewati Belgia, Swiss, Perancis dan Italia.  Sopir bus bernama Mooritz itu sangat disiplin menjaga kebersihan bus nya.  Dia mohon agar kami tidak makan bekal dalam mobil. Namun dasar orang kita suka melanggar, ada saja yang makan bekal berlindung, di balik jok mobil dan membiarkan sampahnya di lantai bus.  Astaghfirullah al-Azhim.

Selanjutnya, kita semua sudah paham bahwa Ramadhan telah melatih kedermawanan kita semua via zakat fitrah dan zakat mal. Sejumlah ahli kesehatan menyimpulkan bahwa semakin rajin orang bersedekah, semakin baik silaturahim, maka semakin tinggi kualitas kesehatannya.  Sebuah penelitian menemukan bahwa orang yang terbiasa bersedekah, akan memiliki tekanan darah lebih sehat, dan tidak akan mudah stres dan berpeluang dianugerahi usia panjang ketimbang orang-orang yang kikir dan pelit sama sekali.

Sebaliknya, penemuan terbaru dari Universitas Teknologi Queensland, dan hasil studi yang dirilis Jurnal Kesehatan Umum Amerika sepuluh tahun yang lalu  (2013), bahwa perilaku pelit itu dapat meningkatkan stres.  Penemuan secara ilmiah itu, adalah bukti kebenaran hadits Rasulullah SAW, riwayat Bukhari, yang menganjurkan pentingnya silaturahim dan indahnya berbagi dengan sesama manusia.

Perilaku yang sangat tidak sejalan dengan Ramadhan ialah sebagian masyarakat cenderung menjadi pemarah, bukannya peramah.  Berseliweran humpatan, fitnah, hujatan, dan segala jenis ujaran kebencian di medsos.  Padahal Ramadhan telah mendidik kita semua untuk berperilaku santun penuh persahabatan. Sebagian kita gagal memahami hadits Nabi: al-shaumu junnah, puasa adalah pelindung dari sifat keburukan.  Ramadhan sesungguhnya merupakan madrasah untuk persahabatan dan kedamaian, termasuk terhadap umat-umat agama lain.  “Damai itu Indah”.  Berdamai dengan Allah melalui dzikr, berdamai dengan manusia melalui akhlaq karimah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement