Sabtu 14 May 2022 13:16 WIB

Melihat Wartawan Rosihan Anwar dari Bukunya

Rosihan menulis apa saja yang tersentuh dalam perjalanannya sebagai wartawan.

Rosihan Anwar
Foto: Antara
Rosihan Anwar

Oleh : Nasihin Masha, Mantan Pemimpin Redaksi Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Hanya sedikit wartawan yang menulis buku, jauh lebih sedikit lagi yang menulis banyak buku. Di antara yang sangat sedikit itu adalah Rosihan Anwar. Dari sejumlah wartawan senior yang sangat sedikit itu, selain Rosihan, adalah Adinegoro, Mochtar Lubis, dan Goenawan Mohammad. Kita juga bisa memasukkan nama Salim Said, wartawan yang akhirnya lebih dikenal sebagai akademisi. Atau bisa juga Lukman Hakiem, wartawan yang kemudian menjadi politisi dan akhirnya menjadi penulis buku sejarah.

Tulisan ini hanya ingin bercerita tentang Rosihan. Pria kelahiran Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, pada 10 Mei 1922 ini menulis beragam tema. Ia menulis apa saja yang tersentuh dalam perjalanannya sebagai wartawan. Tahun ini, genap satu abad kelahiran pria yang wafat pada Kamis, 14 April 2011. Tepat 11 tahun lalu. Untuk ikut memeriahkan peringatan satu abad wartawan legendaris ini, saya ingin ikut mengenangnya, dengan bercerita tentang produktivitas Rosihan dalam menulis buku.

Rosihan menempuh pendidikan dasarnya di HIS Padang (lulus 1935), lalu melanjutkan ke MULO Padang (1939). Setelah itu ia merantau ke Yogyakarta untuk sekolah di AMS-A bagian klasik Barat (1942). Ia juga pernah ikut sekolah drama di Yale University, New Haven, Amerikas Serikat, pada 1950. Ia juga mengikuti sekolah jurnalistik di Columbia University, New York pada 1954. Columbia University inilah yang menjadi pusat anugerah jurnalistik paling bergengsi di Amerika Serikat, Pulitzer Award.

Karier jurnalistiknya dimulai dengan menjadi wartawan di Asia Raya (1943-1945), sebuah koran yang terkait dengan gempita kebangkitan Asia melalui propaganda Jepang. Setelah itu ia pindah ke koran Merdeka (1945-1946), sebuah koran nasionalistik yang dipimpin BM Diah. Pada periode selanjutnya, ia mulai mandiri dengan mendirikan majalah politik dan kebudayaan Siasat (1947-1957) bersama Soedjatmoko. Siasat adalah sebuah majalah yang sangat berbobot dan disegani. Hal ini tak lepas dari pengaruh Soedjatmoko, orang Jawa yang lahir dan besar di Sawahlunto, Sumatera Barat. Koko, demikian panggilannya, kemudian dikenal sebagai cendekiawan yang sangat disegani hingga akhir hayatnya.

Setahun setelah mendirikan Siasat, ia mendirikan koran Pedoman (1948-1961). Di sinilah namanya menjulang. Namun koran ini dibredel rezim Demokrasi Terpimpin – di masa ini semua yang berbeda diberangus, dibungkam, dimiskinkan, dan dijebloskan ke penjara. Di awal Orde Baru, Pedoman (1968-1974) terbit lagi. Namun Orde Baru mulai otoriter. Setelah peristiwa Malari (15 Januari 1974), Malapetaka Lima Belas Januari, sejumlah koran dibredel dan sejumlah tokoh ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Pedoman termasuk yang ikut kena sapu. Setelah itu, Rosihan tak lagi bekerja secara organik di suatu perusahaan pers. Ia menjadi wartawan lepas, freelance, dengan menulis di banyak koran dan majalah di dalam negeri maupun di luar negeri.

Sebagai wartawan, ia menjadi ketua umum PWI Pusat pada 1970-1973. Ia juga pernah menjadi anggota MPR RI dari Fraksi Golkar pada 1973-1978. Ia juga meraih Bintang Mahaputra Utama pada 1973, yang memberinya hak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.

Buku-buku Rosihan

Rosihan menulis apa saja yang bersentuhan dengan dirinya. Setelah naik haji ia menulis buku Dapat Panggilan Nabi Ibrahim (1959). Buku ini diperbarui karena ia kemudian empat kali naik haji dan dua kali umroh. Sehingga terbit buku baru dengan judul Naik di Arafat, Kisah-kisah Perjalanan Haji dalam Seperempat Abad (1982). Ia juga pribadi yang sangat memiliki keberanian, karena langka, untuk menulis buku tentang ajaran Islam. Bukunya yang berjudul Islam dan Anda; Pertjikan Permenungan Wak Hadji (1962) berisi tentang akidah, mu’amalah, dan tasawuf. Untuk buku ini, ia mengimbuhi namanya dengan huruf H di depan namanya – tentu H ini adalah Haji.

Perlu dicatat, buku-buku Rosihan umumnya ditulis dengan mencantumkan H di depan namanya, kecuali untuk buku-buku yang ditulis belakangan, yang diterbitkan Kompas. Buku Islam dan Anda kemudian cetak ulang pada 1979 dan 1984 dengan judul Ajaran dan Sejarah Islam untuk Anda. Rupanya buku Islam dan Anda mendapat sambutan yang sangat baik dari pembaca. Cetakan pertamanya yang berjumlah 10 ribu eksemplar ludes dibeli pembaca. Angka 10 ribu di masa kini bahkan masih menjadi jumlah yang sangat besar untuk sebuah buku, apalagi di masa itu. Bahkan pada 1966 buku ini terbit di Malaysia dengan judul Selok-belok Ugama Islam.

Saya tulis Rosihan berani dan karena itu langka tersebab galibnya yang menulis tema ini adalah ahli agama, bukan orang seperti Rosihan yang bukan ahli di bidang ini. Namun itulah wartawan, bisa menulis apa saja. Untuk lebih menguatkan bobot bukunya, dalam kata pengantar ditulis bahwa buku ini telah diperiksa Buya Hamka. Rosihan menulis bahwa buku ini telah digunakan menjadi bagian dari bahan ajar bagi mahasiswa maupun pelajar SLTP dan SLTA.

Buku pertama Rosihan berjudul Ke Barat dari Rumah (1952). Buku ini ditulis bersama Mochtar Lubis dan S Tasrif, dua wartawan legendaris Indonesia. Buku ini bercerita tentang perjalanannya ke negeri-negeri Barat. Setelah dari India, ia juga menulis buku India dari Dekat (1954).

Di awal Orde Baru, Rosihan sudah menulis tema modernisasi, sebuah tema yang menjadi inti Orde Baru. Modernisasi, pada masanya bukan sekadar istilah umum dan awam, tapi merupakan sebuah gerakan perubahan bagi negara-negara berkembang yang ingin menjadi negara maju. Modernisasi adalah sebuah ‘paham’ dalam ilmu sosial dan ilmu ekonomi tentang apa yang kemudian disebut sebagai “pembangunan”. Orde Baru adalah sebuah rezim politik yang teknokratis dan pragmatis, sebagai lawan dari Orde Lama yang ideologis dan politis. Rosihan telah mencatat hal ini sejak dini sekali, pada 1965-1966 melalui buku yang berjudul Masalah-masalah Modernisasi. Rupanya hal ini tak lepas dari kiprahnya yang terlibat dengan kelompok diskusi sejumlah elite Jakarta saat itu. Di klub ini getol dibahas tentang modernisasi. Tentang kisah ini bisa dibaca pada bukunya Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia di jilid ke-3. Buku Sejarah Kecil ini ada empat jilid.

Rosihan adalah seorang wartawan yang menjadi pencatat sejarah yang baik, detil, deskriptif, serta anatomik. Buku-buku Rosihan umumnya tentang hal ini. Mulai dari Musim Berganti, Sekilas Sejarah Indonesia 1925-1950, lalu Kisah-Kisah Jakarta Setelah Proklamasi, kemudian Kisah-Kisah Zaman Revolusi, Kenang-Kenangan Seorang Wartawan 1946-1949, dilanjutkan dengan Kisah-Kisah Jakarta Menjelang Clash ke-1, lalu Sebelum Prahara, Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965, kemudian Indonesia 1966-1983, berlanjut ke Perkisahan Nusa, Masa 1973-1986, kemudian ia menerbitkan tetralogi Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia (terbit 2004). Ia juga menulis dua buku tentang Belanda, yang pertama Singa dan Banteng, Sejarah Hubungan Belanda-Indonesia 1945-1950 dan, yang kedua, Napak Tilas ke Belanda, 60 Tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949. Atas jasanya ini ia mendapat penghargaan sebagai anggota kehormatan Masyarakat Sejarawan Indonesia pada 2002. Promotornya adalah Azyumardi Azra. Dalam promosinya, Azra membedakan sejarawan ke dalam dua kelompok: akademis dan informal. Nah, karena disebut sebagai sejarawan informal, maka Rosihan menyebut dirinya sebagai sejarawan kaki lima, seperti sektor informal pedagang kaki lima.

Rosihan juga menulis biografi. Pertama biografi tentang dirinya. Ada tiga buku. Pertama, Menulis Dalam Air (terbit 1983). Kedua, Quartet, Pertemuan dengan Empat Sahabat (1999). Buku ini berkisah tentang persahabatannya dengan empat manusia: Tjan Tjoe Siem, Han Resink, Jack Abbott, dan Soedjatmoko. Ketiga, Belahan Jiwa, Memoar Kasih Sayang Percintaan Rosihan Anwar dan Zuraida Sanawi. Buku ini merupakan buku terakhir yang ia tulis, hingga maut menjemputnya. Karena itu terbit hanya sebulan setelah kepergiannya. Ia juga menulis biografi orang lain. Pertama, Kemal Idris, Bertarung dalam Revolusi. Di buku ini ia menjadi salah satu penulisnya. Kedua, Soebadio Sastrosatomo, Pengemban Misi Politik. Ketiga, Against the Currents, a Biography of Soedarpo Sastrosatomo. Keempat, In Memoriam, Mengenang yang Wafat. Buku keempat ini merupakan kumpulan tulisan.  

Sebagai wartawan, Rosihan juga menulis tentang jurnalistik dan kewartawanan. Pertama, Ihwal Jusnalistik (1974). Kedua, Profil Wartawan Indonesia (1977). Ketiga, Bahasa Jurnalistik Indonesia & Komposisi (1979). Keempat, Wartawan & Kode Etik Jurnalistik. Akhirnya, tak bisa dipungkiri bahwa Rosihan memiliki kedekatan tersendiri dengan Sjahrir, ketua umum PSI. Ia menerbitkan empat buku tentang Sjahrir. Pertama, Mengenang Sjahrir (1980). Di sini ia menjadi penyunting dari kumpulan tulisan para tokoh dan cendekiawan tentang Sjahrir. Kedua, Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir (1966). Ketiga, Sutan Sjahrir, Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan (True Democrat, Fighter for Humanity 1909-1966). Buku dwibahasa ini terbit pada 2010. Namun pada 2011, terbit lagi dengan versi Bahasa Indonesia saja. Tentu masih ada sejumlah buku lain karya Rosihan yang merupakan kumpulan tulisan dari tulisannya yang berserak di media massa. Ini tentu pekerjaan rumah sendiri, khususnya untuk menerbitkan artikel-artikelnya yang belum diterbitkan menjadi sebuah buku.

Masih ada sisi yang belum terungkap dari buku-buku tersebut, khususnya tentang Rosihan sebagai aktor film, aktor teater, dan juga sebagai juri film. Tepat sekali judul buku yang disunting wartawan senior Tribuana Said yang berjudul H Rosihan Anwar, Wartawan dengan Aneka Citra. Rosihan (Pedoman) adalah wartawan Angkatan 1945 yang belum banyak diperhatikan orang. Hal ini berbeda dengan BM Diah (Merdeka), Mochtar Lubis (Indonesia Raya), Adinegoro, bahkan Suardi Tasrif (Abadi). Mereka adalah bintang cemerlang wartawan Angkatan 1945. Nama Lubis, Adinegoro, dan Tasrif sudah diabadikan sebagai nama penghargaan jurnalistik. Dari lima nama itu, harus diakui nama Lubis yang paling banyak dibahas dan juga dibukukan.

Sudah saatnya kiprah Rosihan mulai diulas. Ini bukan soal penokohan atau pengkultusan, tapi untuk mengkaji bagaimana pemikirannya tentang masalah kebangsaan maupun tentang visi dan praktiknya di bidang jurnalistik. Dan yang terpenting, tentang bagaimana seorang wartawan dan sebuah media harus bersikap dan bertanggung jawab dalam aras jurnalisme – hal ini sesuatu yang makin langka di era oligarki dan era media milik para konglo. Pedoman, tentu saja Siasat, merupakan warna tersendiri dalam sejarah pers Indonesia. Hal itu layak diperbandingkan dengan Merdeka maupun Indonesia Raya. Harus diakui, Rosihan walau kritis dan kukuh, tapi tak semenggelegar Merdeka maupun Indonesia Raya, atau juga Harian Rakyat dan Abadi. Rosihan cenderung dingin, sedingin gunung es di samudera yang cenderung senyap namun ditakuti.

Modernisasi

Salah satu ciri tulisan Rosihan adalah ringan mengalir. Merangkai fakta-fakta seolah tanpa diimbangi pemikiran. Hanya sesekali ia mengeluarkan frasa yang kuat, nyelekit, dan tentu tajam. Semua itu justru menunjukkan bahwa Rosihan memiliki kecerdasan dan sekaligus kedalaman serta keluasan wawasan. Sikap dasar sebagai wartawanlah yang membuat tulisannya seolah hal yang ringan: agar mudah dicerna. Tapi hanya orang cerdas dan berwawasan yang bisa menjelaskan hal rumit dengan sederhana dan mudah.

Rosihan adalah lulusan AMS-A bagian klasik Barat. Ini saja sudah menjelaskan tentang sumur yang ia timba merupakan studi yang sangat serius. Lalu, duetnya bersama Soedjatmoko mengasuh majalah Siasat menjadi penjelasan lainnya. Jika kita membaca tulisan-tulisan Soedjatmoko maka bagi orang awam harus sering ambil napas: tulisannya sangat serius dan berat. Dalam versi yang lebih ringan, namun tetap saja berat, kita bisa membaca tulisan Rosihan tentang modernisasi. Ia menulis buku berjudul Masalah-Masalah Modernisasi. Atau kita bisa menemukannya pada sub bab Revolusi Modernisasi pada buku Menulis Dalam Air. (Sayang saya gagal mendapatkan buku Masalah-Masalah Modernisasi, sehingga tulisan tentang ini hanya bersumber dari Menulis Dalam Air).

Setelah Pedoman dibredel pada 1961, Rosihan memiliki waktu luang untuk terlibat dalam suatu studieclub. Tempatnya di rumah Maruli Silitonga. Pesertanya Soedjatmoko, Oyong PK (salah satu pendiri Kompas), Onghokham, Soe Hok Djie (Djin? Atau Gie?), Peransi, dan Zakse. Di sini mereka membahas tentang apa itu modernisasi. Mereka mengulas Barbara Ward, Daniel Lerner, Eric Hoffer, WW Rostow, dan lain-lain para pemikir modernisasi. Buku Clifford Geertz, antropolog yang meneliti Indonesia, yang berjudul Agricultural Involution dan baru terbit, juga ikut dibahas.

Uraiannya ringkas, padat, dan dalam. Cukup sembilan halaman tapi sudah tercakup semuanya. Tak hanya menjelaskan latar belakang, kajian, dan tantangannya tapi juga termasuk masukannya agar modernisasi tetap relevan dengan Indonesia. Rosihan memulainya dengan definisi modernisasi. Ia memulainya dengan Ward lalu dilanjutkan dengan Lerner. Kira-kira ringkasnya seperti ini: Setelah negara-negara terjajah merdeka, maka ada kebutuhan bagi bangsa-bangsa baru tersebut untuk maju seperti negara-negara penjajahnya. Kata maju ini diartikan sebagai modern, dan prosesnya merupakan modernisasi. Dari sanalah muncul kata pembangunan. Bangsa modern berarti bangsa yang berporoskan pada tiga hal, yaitu teknologi, ilmu pengetahuan, dan rasionalitas. Hal itu bertujuan untuk mengubah keadaan politik, ekonomi, dan struktur sosial. “Adapun syarat bagi perubahan di ketiga daerah tadi yang melandasi segala-galanya adalah modernisasi sikap-sikap,” tulis Rosihan.

Ya, modernisasi pada akhirnya merupakan suatu paham, suatu paradigma dalam pembangunan. Ia bukan sekadar istilah. Kata “sikap” seperti yang ditulis Rosihan itu berarti mentalitas. Jadi untuk bisa maju maka mentalitas suatu bangsa harus berubah dahulu. Inilah yang kemudian dikecam oleh kaum Marxian. Namun bagian ini tak diulas Rosihan. Ia sudah memilih paradigma modernisasi sebagai jalan menuju kemajuan. Karena itu, ia kemudian memperlihatkan problematika modernisasi dikaitkan dengan demokrasi. Melalui Rostow, ia menjelaskan bahwa “demokrasi tidak dengan sendirinya bisa sukses di negara-negara yang mempunyai teknologi maju, yang modernisasinya telah berjalan jauh”. Sebagai bukti ia menyebutkan Jerman di masa Hitler. Sebaliknya, di masyarakat yang belum modern, demokrasi bisa berjalan. Contohnya India. “Modernisasi bukan syarat yang menentukan” demokrasi.

Dari situlah ia masuk ke pemikiran Hoffer tentang pentingnya kehadiran kaum intelektual di tengah massa. Ia membedakan antara men of words dengan the prophets. Jika sebelumnya hanya ada elite yang cuma bisa berkata-kata, maka kemudian lahir manusia yang menggerakkan rakyat untuk melawan penguasa. Hal itu terjadi pada abad ke-8 SM di Hebrew ketika tradisi kenabian mulai hadir. Hal itu kemudian terulang lagi pada abad ke-16 di Eropa. Kesimpulannya adalah kaum intelektual harus bersekutu dengan massa.

Namun Rosihan mengaku “dada saya menjadi sesak” membaca penjelasan para sarjana tentang modernisasi yang menemui hambatan di negara-negara baru di Asia dan Afrika akibat himpitan faktor tradisional. Faktor tradisional itu misalnya involusi pertanian seperti yang ditemukan Geertz. Pertanian yang involutif adalah pertanian yang jalan di tempat akibat berlakunya shared poverty, kemiskinan yang dibagi, menderita bersama untuk menjaga harmoni sosial. Di sinilah Rosihan menyatakan bahwa Geertz dan lainnya tak melihat subjective will dan the will to develop dari bangsa-bangsa baru tersebut. Menurutnya, involusi harus dihadapi dengan “revolusi organisasi”. Kehendak subjektif dan tekad untuk membangun di kalangan elite bangsa-bangsa baru merupakan suatu modal untuk menghadapi kebuntuan seperti yang digambarkan para sarjana Barat tersebut.

Seolah ingin membuktikan itu, Rosihan menulis diktat, katakanlah risalah, yang diberi judul Serba Aspek Pembangunan Ekonomi dan Modernisasi. Risalah itu menggunakan nama samara Pranoto. Lalu disebarkan pada Agustus 1965 ke aktivis KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) melalui adiknya, Yozar Anwar – aktivis Angkatan 66 yang menulis buku Angkatan 66 dan buku Pergolakan Mahasiswa Abad ke-20. Ia juga aktif mengisi diskusi-diskusi yang diadakan aktivis mahasiswa saat itu seperti Marsillam Simanjuntak, Muslimin Nasution, Sjahrir, dan lain-lain yang kelak menjadi tokoh Angkatan 66. Melalui penjelasan ini, Rosihan hendak mengatakan bahwa intelektual telah bersekutu dengan massa.

Dari semua tulisan Rosihan, kita bisa menemukan hal yang berbeda pada poin tentang modernisasi ini. Kita menemukan Rosihan yang serius dan man in action. Ia bukan men of words tapi telah menjadi the prophets yang menggerakkan massa untuk melawan penguasa. Di sini kita melihat sifat cadas seorang Rosihan. Gunung es itu memang ada, itulah Rosihan Anwar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement