Minyak sawit kini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Karena peran strategisnya itu, pengelolaannya tidak bisa sepenuhnya didasarkan pada kepentingan bisnis.
Meskipun merugikan dunia usaha, keputusan Presiden Joko Widodo untuk melarang ekspor minyak kepala sawit (CPO) dan produk turunannya, harus dipahami dalam sudut pandang lebih luas. Dr Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute, menyebut Indonesia tidak bisa lagi menyusun kebijakan hanya untuk memaksimalkan keuntungan bisnis. Sama pentingnya dengan keuntungan, adalah memaksimalkan fungsi sosial dari produk sawit itu sendiri.
“Presiden berpikir, sawit juga harus memaksimumkan social welfare, kepentingan bersama nasional lebih diutamakan. Bukan hanya kepentingan pebisnis atau profit-oriented. Desain kebijakan ini perlu kita rumuskan ke depan. Ini belum pernah ada,” kata Tungkot, dalam simposium kelapa sawit yang diselenggarakan di Yogyakarta, Sabtu (14/5).
Tungkot mengingatkan Indonesia adalah produsen sekaligus konsumen sawit terbesar di dunia. Karena itu, manajemen kebijakan yang dibuat harus menjangkau social welfare, bukan lagi profit-oriented saja.
“Bagaimana kita membuat desain kebijakan soal distribusi, stabilisasi minyak goreng yang menguntungkan bagi konsumen, tetapi juga menguntungkan bagi dunia usaha, dan pemerintah. Tidak mudah ini,” tambahnya.
Instrumen kebijakan itu menurutnya sebenarnya sudah ada, yaitu pungutan ekspor yang diterapkan pemerintah. Melalui kebijakan ini, pemerintah bisa mengendalikan atau menstabilkan stok minyak goreng dalam negeri. Jika harga di pasar internasional tinggi pungutan bisa berfungsi sebagai pagar.
Untuk jalan keluar jangka panjang, Tungkot merekomendasikan kehadiran BUMN guna menjalankan tugas-tugas kenegaraan yang seperti ini.
“Misalnya stabilitasi minyak goreng, supaya jangan merepotkan dunia usaha, kita majukan BUMN. Dalam hal ini PTPN kita harus dikembangkan lebih besar lagi supaya bisa berfungsi menjadi alat pemerintah untuk stabilitasi minyak goreng dalam negeri,” tambahnya.
Hingga saat ini, larangan ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya memang belum dicabut oleh pemerintah. Dalam simposium ini, Oke Nurwan, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan menyampaikan alasannya.
“Melihat kondisi saat ini, dimana Harga Eeceran Tertinggi (HET) juga belum dapat terimplementasi secara merata di wilayah Indonesia,” ujar Tungkot.
Larangan presiden itu kemudian diatur lebih detil dalam Peraturan Menteri Perdagangan nomor 22/2022. Nurwan mengakui, kebijakan ini berdampak dengan berkurangnya penerimaan negara.
“Namun, sebagaimana ditegaskan Bapak Presiden, bahwa kebutuhan rakyat merupakan yang utama. Maka kebijakan ini harus dapat berjalan dengana baik,” ujarnya lagi.
Jika memang sektor sawit ingin larangan ekspor ini segera dicabut, dibutuhkan dukungan program yang dapat mengakselerasi percepatan pendistribusian minyak goreng sesuai harga eceran yang ditetapkan. Pemerintah ingin, agar minyak goreng tersedia dalam jumlah yang cukup dan kontinyu di masyarakat.
“Bila hal tersebut sudah terbukti, artinya minyak goreng tersedia cukup dan kontinyu, maka Permendag larangan ekspor ini, yang sifatnya sementara, tentu segera bisa kita evaluasi kembali,” lanjut Nurwan.
Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Prof Sri Raharjo menyebut minyak sawit adalah komoditas yang diperlakukan secara tidak adil oleh dunia. Produk Indonesia ini dihembuskan sebagai produk tidak sehat dan tidak ramah lingkungan. Menurut Raharjo, kampanye itu berujung pada kepentingan dunia barat terhadap produk-produk minyak nabati mereka sendiri.
“Banyak negara pengimpor sawit itu, sebetulnya kalau mau jujur, banyak terbantu. Karena sawit yang dia beli tidak semuanya untuk menggoreng, dia gunakan untuk oleo chemical. Itu kan berarti menggerakkan roda ekonomi mereka, menyerap tenaga kerja mereka, berkontribusi pada kesejahteraan rakyat mereka,” kata Raharjo.
Raharjo mengingatkan, dunia tidak bisa terus menerus merundung minyak sawit. Dunia juga harus menghargai peran komoditas ini, dalam bisnis minyak nabati global. JIka kondisi ini terus terjadi, ujarnya, bukan tidak mungkin Malaysia sebagai produsen sawit terbesar kedua, juga akan menerapkan penghentian ekspor sementara.
“Kalau tetap di-bully, sawit itu di dunia, Malaysia pun kayaknya akan berpikir dan berbuat hal yang sama. Kalau itu terjadi, Malaysia juga menghentikan ekspornya sementara saja, maka dunia akan menghadapi kesulitan yang besar. Itu yang saya maksud dengan, tiba saatnya memberi pelajaran kepada seluruh dunia tentang sawit,” tambahnya.
Meski dari sisi lain, penghentian ekspor bisa menjadi pelajaran bagi konsumen sawit di Barat, tetapi tidak boleh dilupakan bahwa petani cukup menderita oleh kebijakan ini. Dr Darmono Taniwiryono, Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (Maksi) menyebut, bisnis sawit ibarat kue besar di Indonesia.
“Saya kira, kalau kita punya kue besar, yang memotong kue adalah pemilik kue. Siapa yang akan membagi-bagi untuk keperluan apa, ya pemilik kue besar. Apa yang terjadi sekarang, petani menangis karena Tandan Buah Segar (TBS) sawit tidak laku, ya karena mereka tidak memiliki power,” kata Darmono.
Sementara Dr Harsawardana, Rektor Institut Pertanian INSTIPER Yogyakarta menyebut, pentingnya peningkatan kapasitas petani. Upaya ini mengharuskan dibangunnya kelembagaan korporasi petani.
“Hal ini sangat penting, agar industri hulu dapat membangun sinergi dalam manajemen yang intengratif dan sinergis dengan para petani,” kata dia memberi alasan.
Tanpa pengembangan kelembagaan atau korporasi petani, menurut Harsawardana, peningkatan teknologi di perkebunan akan berjalan lambat. Upaya peningkatan sumber daya manusia petani juga perlu terus dilakukan, agar dapat memanfaatkan teknologi modern dalam skala yang cukup.
Selain itu, pemerintah juga harus mendesain pembangunan sektor on farm, mengarah pada dukungan untuk keperluan pengembangan industri berbasis agro.
Sumber: VoAIndonesia.com