Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Dua pemilihan presiden (pilpres) terakhir membuktikan suara pemilih di Pulau Jawa menjadi penentu kemenangan. Jelas itu karena jumlah pemilihnya terbanyak, tidak lain. Sistem pemilihan one man one vote begitu memang. Maka, suka atau tidak, ‘Jawa adalah kunci’ dalam konteks ini tak relevan untuk disangkal. Persoalannya, bagaimana cara mendulang sebanyaknya suara di Pulau Jawa?
Separuh lebih pemilih nasional ada di enam provinsi di Pulau Jawa. Dari keenam provinsi tersebut, Jawa Timur (Jatim), Jawa Tengah (Jateng), dan Jawa Barat (Jabar), menjadi arena penentu pertarungan. Ada 70 juta lebih pemilih di tiga provinsi ini dari total 154 juta pemilih pada Pilpres 2019. Realita itu mengharuskan kontestan berebut kemenangan di tiga provinsi kunci tersebut. Jika perlu, ‘saling sikut’.
Di antara ketiganya, Jateng menjadi provinsi dengan jumlah pemilih paling sedikit. Pada Pilpres 2019, suara sahnya 21,7 juta orang. Jumlah tersebut lebih sedikit tiga juta suara dibandingkan Jatim, dan lima juta suara dari Jabar. Tetapi suaranya solid. Dua pemilu terakhir melegitimasi bahwa Jateng memang kandang banteng, PDIP.
Di Pilpres 2014, Jokowi-JK meraih 12.959.540 suara, Prabowo-Hatta 6.485.720 suara. Selisihnya separuh persis. 2019 kian menjadi-jadi, Prabowo-Sandiaga hanya mendapat 4.944.447 suara dan Jokowi-Ma’ruf 16.825.511 suara. Prabowo dipilih seperempat lebih sedikit dari suara sah, sisanya ke Jokowi. Selisihnya pun mencapai hampir 12 juta suara.
Lepas dari analisis menguatnya politik identitas saat itu, mesin partai banteng di Jateng memang paten. Jika 2024 internal PDIP solid mengusung satu calonnya, kemenangan mutlak di Jateng ada dalam genggaman. Bagaimana jika pecah? Atau katakan lah Ganjar dan Puan masing-masing maju dengan ‘kendaraan’ berbeda? Itu lain soal. Dinamika ke depan akan menjawabnya.
Berebut nahdliyyin
Kita coba lihat Jatim sekarang. Suara sah di Pemilu 2019 ada 24,6 juta orang. Prabowo hanya mendapat separuh dari suara yang diraih Jokowi. Prabowo 8,4 juta suara, Jokowi 16,2 juta suara. Telaknya kemenangan ini ternyata tidak terjadi di 2014, di mana Jokowi meraup 11,6 juta suara, Prabowo 10,2 juta suara. Relatif sedikit selisihnya. Mengapa itu terjadi?
Calon RI 2 atau pasangan masing-masing capres ternyata menjadi penentu saat itu. Kiai Ma’ruf Amin adalah magnet pemilih di Jatim. Provinsi paling timur Pulau Jawa ini jelas merupakan basis nahdliyyin, warga Nahdlatul Ulama (NU). Tak cukup alasan untuk tidak memilih Kiai Ma’ruf saat itu. Apalagi, jika kiai-kiai sudah bersikap dan menentukan pilihan, sebagian besar umatnya sami’na wa atho’na. Itulah yang terjadi di 2019.
2014 tidak demikian. Tak ada ‘orang NU’ sebagai kontestan, baik capres maupun cawapres. Meski Kiai Said Aqil Siradj mendeklarasikan dukungan untuk Prabowo-Hatta, dampaknya terhadap elektoral tidak signifikan. Beliau mengatasnamakan pribadi waktu itu, bukan PBNU walaupun saat itu Kiai Said adalah ketua umumnya. Beberapa kiai pun sikapnya tak segamblang seperti di Pilpres 2019.
Di lain sisi, PKB menjadi bagian dari koalisi pengusung Jokowi-JK. Perbedaan pilihan ketua umum PBNU dan ketua umum PKB saat itu bisa jadi adalah faktor selisih suara kedua pasangan tak banyak. Suara nahdliyyin di sana pun terbagi. Yang pasti, hasil suara Pilpres 2014 di Jatim menunjukkan luwesnya nahdliyyin menentukan pilihan politiknya saat itu. Yang perlu dicatat adalah, PKB merupakan partai pemenang 2014 di Jatim. Artinya, kemenangan Jokowi-JK tak lepas dari mesin politik PKB. Basis pemilih kultural pun berhasil dikonsolidasikan.
Arah pemilih nahdliyyin di 2024, khususnya di Jatim, sampai saat ini masih sangat cair. Belum ada tokoh NU sebagai calon kuat tampil menjadi capres, atau bahkan sekadar cawapres. Sejauh ini baru Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang mendeklarasikan diri. Tetapi Gus Muhaimin atau Cak Imin ini resistensinya tidak kecil di kalangan nahdliyyin.
Sementara PBNU di bawah kendali Gus Yahya pun menyatakan akan mengambil jarak dengan politik praktis, bahkan menggaransi tak akan ada capres/cawapres dari PBNU. Ini tentu tidak berarti orang NU dilarang berkontestasi di Pilpres 2024. Pernyataan yang dilontarkan saat beliau mencalonkan diri sebagai ketua umum PBNU itu lebih kepada pilihan diametral terhadap Kiai Said. Di masa kepemimpinan Kiai Said itulah, Kiai Ma’ruf maju sebagai cawapres yang saat pencalonan menduduki jabatan Rais Aam.
Kini, hubungan Cak Imin dan Gus Yahya sedang tidak hangat. Jika ini terjadi sampai 2024, maka pemilih nahdliyyin akan sangat dinamis, khususnya di Jatim. Apalagi jika tak ada capres atau cawapres orang NU. Peluang ini yang sedang diintip berbagai tokoh untuk mengamankan suara di Jatim. Jangan heran jika mereka akan berebut meluluhkan simpul-simpul pendulang suara untuk kepentingan elektoralnya.
Yang harus diakui, suka atau tidak, Cak Imin masih memegang tombol on/off mesin PKB. Dengan berbagai akrobatnya saat itu, dia berhasil mengerek PKB sebagai partai pemenang di Jatim pada 2014 dan nomor dua pada 2019, sekaligus pengantar kemenangan Jokowi di dua pertarungan. Cak Imin pula yang menjadi aktor kunci digandengnya Kiai Ma’ruf oleh Jokowi. Almarhum Buya Syafii Maarif pun melabelinya ‘the real politician’.
Peluang Jabar
Dua pilpres terakhir tak ada tokoh Jabar jadi kontestan. Tetapi suara warganya diperebutkan. Ada 26,8 juta suara sah di Pilpres 2019. Terbesar dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Dua kali pilpres itu pula Prabowo berhasil menjadikan Jabar sebagai lumbung suara. Selisih suara Prabowo dan Jokowi di kisaran lima juta, baik di Pilpres 2014 maupun 2019.
2024 konstelasi sangat mungkin berubah di Jabar. Elektabilitas Ridwan Kamil kerap nangkring di berbagai survei untuk capres. Prabowo, Ganjar, dan Anies, memang masih dengan tingkat keterpilihan tertinggi di tiga besar. Tetapi nama Ridwan Kamil jarang hilang dari posisi empat dan lima. Ini bisa menjadi momentum bagi pemilih di Jabar untuk menampilkan putra daerah di kontestasi tingkat nasional.
Mohon maaf, ini bukan soal sentimen kedaerahan. Secara objektif, kapasitas Ridwan Kamil sangat mumpuni untuk memimpin republik ini. Kiprahnya memimpin Bandung dan Jawa Barat terakumulasi menjadi kepuasan masyarakat atas kepemimpinannya. Kepuasan masyarakat Jabar itu terpotret dalam beberapa survei.
Hasil survei Charta Politica sekitar dua atau tiga bulan lalu mengonfirmasi tingginya kepuasan masyarakat Jabar terhadap kepemimpinan Ridwan Kamil. Kepuasan warga Jabar terhadap pemprov pun lebih tinggi dibandingkan pemerintah pusat. Dalam survei yang sama, elektabilitas Ridwan Kamil ada di posisi dua, sedikit di bawah Prabowo. Ini elektabilitas di Jabar, bukan nasional.
Di waktu hampir bersamaan, survei SMRC bahkan menempatkan Ridwan Kamil di posisi pertama, untuk elektabilitas di Jabar. Menyusul kemudian Anies Baswedan, Prabowo, dan Ganjar secara berurutan. Tapi yang perlu dicatat, tren elektabilitas Ridwan Kamil terus naik di Jabar. Jika tren ini terus terjadi, kesempatan Sang Gubernur terbuka lebar.
Pada akhirnya tiket pencalonan tetap berada di tangan partai politik. Banyak sekali faktor sebelum menentukan siapa yang akan dipilih. Ingat, pemilihan calon kontestan tidak pernah tunggal. Elektabilitas tinggi tak menggaransi siapapun akan mendapat kendaraan. Realitas itu ditangkap Ridwan Kamil dengan memastikan akan bergabung menjadi bagian dari partai politik.
Tren kenaikan elektabilitas Ridwan Kamil jika berjodoh dengan keinginannya untuk menjadi bagian dari partai politik, bisa menjadi paduan indah. Dan bila pilihan parpolnya tepat, bukan tidak mungkin Ridwan Kamil menjadi kuda hitam di pilpres mendatang.