Jumat 03 Jun 2022 19:18 WIB

YLKI: Konsumsi Rokok di Indonesia Mengkhawatirkan

Jumlah perokok di Indonesia meningkat dalam 10 tahun terakhir.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Nora Azizah
Jumlah perokok di Indonesia meningkat dalam 10 tahun terakhir.
Foto: ANTARA/Novrian Arbi
Jumlah perokok di Indonesia meningkat dalam 10 tahun terakhir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkhawatirkan prevalensi konsumsi merokok di Tanah Air. Ini merujuk hasil survei riset yang bertajuk Global Adult Tobacco Survey (GATT) 2021 bahwa konsumsi rokok di Indonesia mengkhawatirkan.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan organisasi kesehatan dunia PBB (WHO) Indonesia meluncurkan hasil riset yang bertajuk GATT 2021 sangatlah mengkhawatirkan. 

Baca Juga

"Sebab laporan GATS membuktikan bahwa konsumsi rokok di Indonesia dalam kondisi darurat," ujar Tulus, Jumat (3/6/2022).

Ia menambahkan, ada beberapa intisari laporan GATS dan data dari sumber lain berikut ini membuktikan kedaruratan itu. Pertama, jumlah perokok selama 10 tahun terakhir 2011-2021, meningkat 8,8 juta perokok dewasa. Tercatat saat ini terdapat 69,1 juta dari semula 60,3 juta perokok. Artinya, dia melanjutkan, 25 persen masyarakat Indonesia adalah perokok.

Kedua, ia mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021 juga membuktikan bahwa masyarakat Indonesia lebih banyak membelanjakan uangnya untuk membeli rokok. Jauh di atas produk padi padian, sayur sayuran, ikan/udang, telur susu, daging, dan lainnya. Jadi konsumsi rokok mengalahkan konsumsi bahan pangan yg bergizi.

Ketiga, hasil GATS juga membuktikan terjadi lompatan iklan dan promosi rokok di media internet. Jika pada 2011 iklan rokok di internet hanya 1,9 persen saja, maka pada 2021 iklan rokok di internet menjadi 21,4 persen.

Keempat, fenomena tingginya jumlah perokok, sudah pasti diikuti oleh melambungnya fenomena penyakit tidak menular. Ia mengutip hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018 membuktikan bahwa terjadi peningkatan prevalensi penyakit tidak menular, yaitu prevalensi penyakit kanker menjadi 1,8 persen padahal pada 2013 hanya 1,4 persen, prevalensi penyakit stroke 10,9 persen, padahal pada 2013 hanya 7 persen, prevalensi ginjal kronis 3,8 persen, padahal pada 2013 hanya 2 persen, dan penyakit diabetes melitus 8,5 persen padahal pada 2013 hanya 6,9 persen.

Ia menambahkan, peningkatan prevalensi penyakit tidak menular dipicu oleh pola konsumsi dan gaya hidup yang tidak sehat. Konsumsi rokok menjadi pemicu utamanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement