REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rektor Universitas Pertahanan (Unhan) Laksmana Madya Prof. Dr. Amarulla Octavian mengatakan pihaknya akan mengusulkan agar disertasi Hasto Kristiyanto mengenai teori geopolitik Soekarno menjadi buku ajar yang menjadi referensi di universitas di Indonesia.
"Akan mendorong disertasinya Pak Hasto ini menjadi buku. Dan tidak hanya buku yang dapat dibaca oleh masyarakat Indonesia, tapi juga menjadi buku ajar. Salah satu buku referensi tentang geopolitik untuk semua perguruan tinggi di Indonesia," kata Amarulla.
Amarulla hadir dan membuka sidang terbuka promosi doktoral Hasto Kristiyanto di Aula Merah Putih, Kampus Unhan, Sentul, Bogor, Senin (6/6/2022). Disertasinya yang berjudul "Diskursus Pemikiran Geopolitik Soekarno dan Relevansinya terhadap Pertahanan Negara".
Menurut Amarulla, topik ini cocok untuk masuk menjadi bagian dari kurikulum di perguruan tinggi. Bahwa geopolitik Soekarno itu adalah bagaimana kita memperjuangkan kepentingan kita di dunia internasional.
Amarulla mengatakan bahwa di dalam disertasinya, Hasto bisa membuktikan bahwa pemikiran geopolitik Soekarno bahkan bisa menjadi hukum internasional yang baru. Di tahun 1956, Bung Karno berpikir perairan Indonesia harus lebih jauh jaraknya. Yakni dari 3 mil menjadi 12 mil dari daratan.
"Bisa bayangkan, jaman itu republik masih muda, berani-beraninya membuat aturan baru dari 3 mil menjadi 12 mil. Dan berhasil. Nah itulah contoh bagaimana kita memperjuangkan kepentingan nasional," kata Amarulla.
Lebih lanjut, dia mengatakan teori geopolitik Soekarno memiliki kontekstualitas yang jelas dengan tantangan pemerintahan Indonesia saat ini dan ke depan.
"Kontekstual jelas. Poros maritim dunia itu jelas. Bagaimana kita mengklaim poros maritim dunia? Kita Indonesia bisa mengatur lalu lintas perdagangan laut dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia, bahkan sebaliknya kita bisa kontrol semuanya," urai Amarulla.
"Nah, kita akan melaju lagi pada hukum internasional berikutnya. Bagaimana nanti semua kapal yang lewat perairan Indonesia, misalnya harus bayar. Dan itu sumber pendapatan baru buat bangsa Indonesia," tukasnya.
Dalam disertasinya, Hasto memang menyebut bahwa teori geopolitik Soekarno bernafas proggresive geopolitical coexistence. Maknanya, bahwa geopolitik Indonesia menerapkan perspektif Soekarno itu akan mendorong situasi dunia yang damai dan negara-negara dapat hidup berdampingan dengan baik.
Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia Evi Fitriani, yang menjadi salah seorang penguji dalam sidang disertasi Hasto, sempat mempertanyakan tesis Hasto itu.
Sebab baginya, situasi hubungan internasional tak selalu sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia. Di jaman Soekarno, muncul berbagai konflik kepentingan dengan negara lain dipicu strategi geopolitik Soekarno. Sehingga dia mempertanyakan tesis mengenai hidup berdampingan atau co-existence itu.
Hasto menjawab dengan panjang lebar. Dia menjelaskan bagaimana dahulu Bung Karno bisa meyakinkan Amerika Serikat (AS) yang awalnya menolak Konferensi Asia Afrika. Pemerintahan Bung Karno saat itu lalu merancang misi diplomasi dengan mengingatkan AS soal patriotisme AS dalam menghadapi penjajahan kolonialisme Inggris.
Begitupun ketika Indonesia berhasil merebut kembali Irian Barat, yang ditentang Belanda dengan menggalang kekuatan dari AS. Indonesia saat itu mampu menggalang dukungan Inggris karena kedekatan personal antara Menteri luar negeri Subandrio dan Ratu Elizabeth.
"Ketika Inggris mendukung kita, maka Australia ikut mendukung kita. Ini yang kemudian tidak kita leverage. Kita meninggalkan Asia Afrika sebagai playing field kita. Kita meninggalkan Amerika Latin sebagai playing field kita. Padahal itu adalah basis legitimasi kita di sistem internasional yang telah dibangun susah payah oleh Bung Karno," urai Hasto.
Kata Hasto, Indonesia memerlukan kepemimpinan nasional yang punya kesadaran geopolitik dan mampu bertindak aktif. Ketiadaan sumber daya harus memunculkan ide dan gagasan, suatu spirit yang mampu mengatasi berbagai hambatan dalam sistem internasional yang anarkis.
"Gagasan sukarno masih sangat relevan di dalam sistem internasional. Hanya perlu pemimpin nasional yang memiliki cara pandang geopolitik memperjuangkan kepentingan nasional," tegas Hasto.