Jumat 10 Jun 2022 06:01 WIB

Cendekiawan di Era Kampus Merdeka

Dibutuhkan ikhtiar untuk memperluas kembali makna merdeka dalam MBKM.

Dr Asep Sahid Gatara,  Wakil Ketua ICMI Jawa Barat; Dosen FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Foto: dok pri
Dr Asep Sahid Gatara, Wakil Ketua ICMI Jawa Barat; Dosen FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Oleh Asep Sahid Gatara | Wakil Ketua ICMI Jawa Barat; Dosen FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung;  Wakil Ketua Asosiasi Program Studi Ilmu Politik (APSIPOL).

 

REPUBLIKA.CO.ID, Cendekiawan dalam KBBI berasal dari kata cendekia yang memiliki arti tajam pikiran, lekas mengerti, cerdas, dan pandai. Cendekia merujuk juga pada makna cepat mengerti situasi dan pandai mencari jalan keluar atau menawarkan solusi. 

Berdasarkan itu, cendekiawan adalah orang yang memiliki sikap hidup yang terus menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu secara keseluruhan. Baik sesuatu sebagai lingkungan alam semesta (Jagad Gedhe) maupun sebagai lingkungan tatanan sosial (Jagad Cilik). Pemahaman yang kemudian diimplementasikan atau dipersembahkan untuk menjaga kelestarian alam dan membangun peradaban manusia. 

Karakteristik kecendekiawaan tersebut lazimnya banyak lahir dan hadir di lingkungan kampus atau perguruan tinggi. Lembaga pendidikan yang memang mendorong seluruh sivitas akademika memiliki kesadaran, kecerdasan, keahlian, dan kedewasaan dalam menghadapi persoalan lingkungan alam semesta dan persoalan tatanan kehidupan bermasyarakat, beragama, dan bernegara. 

Persoalan yang disebut pertama, misalnya, tentang deforestasi, pengelolaan air, penanganan sampah, dan perubahan iklim. Sementara persoalan yang disebut kedua misalnya tentang gelombang pasang violensi, intoleransi, dan inkonsistensi.

Namun demikian, publik banyak bertanya mengenai cendekiawan yang saat ini tengah berada di era kampus merdeka dalam skema kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Tidak terkecuali para cendekiawan yang berkhidmat di organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Organisasi masyarakat yang memiliki sifat ke-Islaman, ke-Indonesiaan, kecendekiawanan, keilmuan, keterbukaan, kebebasan, dan kemandirian. Seperti pertanyaan, apakah cendekiawan akan tetap seirama dengan definisi, posisi dan sifat yang hakikinya, ataukah akan bergeser sesuai dengan arus besar kampus merdeka ala kekinian.  

Harus diakui, hingga saat ini kebijakan MBKM tersebut dalam sejumlah aspek masih problematis. Misalnya, ia banyak disoroti baru sebatas merdeka dalam pemenuhan hak-hak mahasiswa untuk belajar tiga semester di luar program studi. Selain itu, merdeka dalam pemenuhan hak-hak mahasiswa untuk mendapatkan kebebasan dalam memilih bidang yang mereka sukai (Permendikbud No 3 Tahun 2020 tentang SN-DIKTI). 

Sedangkan merdeka di aspek lain banyak dinilai jalan di tempat bahkan juga cenderung jalan mundur. Sebut saja seperti pada aspek tata pamong perguruan tinggi yang semakin berada di bawah kontrol kekuasaan negara. 

Maka wajar jika berseliweran ungkapan satire bahwa merdeka dalam MBKM adalah ‘merdeka dalam ketidakmerdekaan’. Merdeka yang awalnya berdasarkan kesukarelaan sivitas akademika namun berubah menjadi berdasarkan kewajiban-kewajiban. Atau dalam kata lain, adanya gelagat ‘merdeka terpimpin’. Merdeka dalam serba pantauan kuasa manajerial tertentu.   

Kemandirian dan kebebasan akademik

Oleh karena itu, dibutuhkan ikhtiar memperluas kembali makna merdeka dalam MBKM. Seperti ikhtiar mengembalikan makna otonomi kampus. Suatu paradigma pengelolaan perguruan tinggi yang selama ini menekankan kemandirian dan kebebasan akademik. Ikhtiar-ikhtiar akademik yang telah banyak melahirkan kreativitas dan produktivitas gagasan (nilai-nilai, pengetahuan dan teknologi) bagi setiap upaya pengelolaan perihal kealamsemestaan, kemanusiaan, keagamaan, dan kenegaraan. 

Dengan itu, kampus sempat menjadi pusat gagasan dari deretan para ahli atau pakar yang selalu dinanti, dicari, dan dirujuki publik bahkan negara. Gagasan-gagasan yang berdimensi kecendekiawanan karena senantiasa mengajak kita untuk mengerti, peduli, dan menawarkan solusi terhadap setiap persoalan masyarakat. 

Namun saat ini disayangkan, semua itu cenderung menjauh bersamaan dengan kemunculan gejala matinya kepakaran (the death of expertise). Yang berarti pula menjadi tanda matinya kecendekiawanan. 

Lebih dari itu, kampus juga acap kali menjalankan perannya sebagai pilar demokrasi, terutama sebagai kekuatan moral dan intelektual bagi kekuasaan apa dan siapa pun. Peran ekstra politika yang dibutuhkan untuk mengingatkan badan-badan kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) tatkala mereka mulai terindikasi menjauh dari tugas dan fungsi sebagai penyelenggara negara yang telah ditetapkan dalam dasar negara (Pancasila) dan konstitusi (UUD 1945).   

Perlu diingat lagi bahwa pengelolaan perguruan tinggi yang mengedepankan kemandirian dan kebebasan akademik adalah amanat Undang-Undang Perguruan Tinggi Nomor 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Undang-undang yang menegaskan bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah pencarian kebenaran ilmiah oleh sivitas akademika. 

UU tersebut juga menegaskan keharusan kampus yang demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjungjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa. 

Dengan demikian, kampus seharusnya tidak hanya sebagai lingkungan bagi mahasiswa untuk mempersiapkan diri memasuki ataupun menciptakan lapangan kerja, namun juga lingkungan untuk membangun karakter inklusif. Karakter yang sangat dibutuhkan bagi alam semesta yang semakin terjal dan tatanan sosial yang sangat plural.      

Memerdekakan pengetahuan   

Merdeka yang diperluas juga harus mengarah pada bagaimana memerdekakan (dekolonisasi) produksi pengetahuan. Kemerdekaan Indonesia, sebagaimana banyak diungkapkan para sarjana cultural studies, sesungguhnya baru dicapai secara fisik dan politik, sementara secara pengetahuan masih di bawah bayang-bayang kuasa kolonial. Kuasa yang beroperasi melalui dan dalam kepak sayap liberalisme, kapitalisme, dan sekularisme. Karena itu, sistem dan proses pendidikannya pun cenderung identik dengan praktik komodifikasi, industrialisasi, dan pemisahan ilmu dengan agama, Iptek dengan Imtaq, serta kompetensi dengan ‘akhlaki’. 

Padahal bagaimana pun secara ideologis pendidikan Indonesia adalah berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Landasan yang mensyiratkan integrasi antara ilmu dengan agama, seperti yang selama ini ditegaskan pada visi dan misi sejumlah perguruan tinggi, seperti visi “wahyu memandu ilmu”, visi “integrasi keilmuan, keislaman, dan keindonesiaan”, dan misi “kesejalanan Iptek dan Imtak”.

Selain itu, tujuan pendidikan nasional itu sendiri adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 

Alakhir, segenap cendekiawan dengan sifat hakiki yang melekatnya memiliki tanggung jawab moral untuk menguatkan ikhtiar-ikhtiar di atas agar kebijakan kampus merdeka tetap berada dalam satu tarikan nafas dengan tujuan pendidikan nasional. Ikhtiar-ikhtiar bagi pengawalan sekaligus pembangunan jagat pendidikan yang tidak hanya merdeka, namun juga tetap konstitusionalis, demokratis, serta ideologis (Pancasilais tentunya). Wallahu a'lam bi shawab.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement