Ahad 12 Jun 2022 15:25 WIB

Akhir Bulan Madu Starup?

Startup lokal mulai hadapi ancaman bubble burst

Startup Lokal Mulai Hadapi Ancaman Bubble Burst. Foto Ilustrasi Startup
Foto: Pixabay
Startup Lokal Mulai Hadapi Ancaman Bubble Burst. Foto Ilustrasi Startup

Oleh : Ichsan Emrald Alamsyah, Redaktur Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Hingga akhir 2021, startup di negeri ini terus tumbuh seperti jamur di musim hujan. Bahkan hingga hari ini, startup di Indonesia terus lahir seiring meratanya teknologi informasi dan jaringan internet hingga pelosok daerah.

Bahkan berdasarkan data startup rangking, Indonesia menduduki peringkat kelima dengan total mencapai 2.346 perusahaan rintisan hingga April 2022. Indonesia, ada di bawah Amerika Serikat, Kanada, India dan Inggris.

Beberapa startup diantaranya, yang bisa disebut unicron, memiliki ukuran yang bahkan bisa menjangkau negara tetangga di Asia Tenggara.

Bahkan Jakarta ibu kota negara menempati urutan ketiga, di bawah Mumbai dan Kopenhagen, sebagai lokasi ekosistem startup yang sedang berkembang.

Sayangnya bulan madu kebangkitan startup tanah air mulai perlahan berhenti tahun ini. Alasannya jelas, terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja alias PHK yang terjadi pada perusahaan rintisan dan ecommerce tanah air.

Perusahaan teknologi mulai melakukan pemecatan seperti Zenius, LinkAja, JD.ID dan sebelumnya ada Fabelio dan Tanihub. Kondisi ini juga terjadi pusat-pusat startup dunia seperti Amerika Serikat dan India.

Seperti Netfix perusahaan yang berbasis di AmerikaSerikat (AS) memecat 150 karyawannya. Hal tersebut dilakukan demi memotong biaya pengeluaran menyusul penurunan pelanggan.

Kondisi ini ditengarai sebagai bubble burst, istilah dalam ekonomi untuk menyebut kenaikan atau pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat namun juga memunculkan kejatuhan yang cepat pula.

Dikutip dari Investopedia, bubble burst sebenarnya adalah lingkaran dalam ekonomi (economic circle) dengan ciri khas peningkatan luar biasa khususnya dari segi aset. Hanya saja inflasi uang meningkat justru menyebabkan kontraksi yang menyebabkan penurunan cepat nilai sehingga terjadi 'crash'.

Menurut founder dan Co-Managing Partner Northstar Group Patrick Walujo, PHK massal pada startup tanah air mungkon terjadi karena kondisi keuangan yang sulit. Sayangnya pendanaan bagi startup saat ini cenderung sulit.

Hal ini terjadi karena investor yang mulai menahan investasinya. Sementara, ungkap Patrick Walujo,  cara start up agar bisa survive maka salah satu yang dilakukan adalah penghematan. Sehingga langkah PHK terpaksa harus dilakukan oleh perusahaan start up. "Jadi untuk bisa survive, kalau mereka uangnya itu cukup mesti melakukan penghematan. Mungkin langkah itu harus mereka lakukan," katanya.

Apalagi berdasarkan catatan Republika saat ini terjadi penurunan saham perusahaan teknologi. Meski tidak berpengaruh langsung namun hal ini menandakan terjadi penurunan minat bagi investor untuk berinvestasi di perusahaan teknologi.

Hanya saja PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) mengaku masih akan berinvestasi pada perusahaan rintisan atau startup di tengah banyaknya yang melakukan restrukturisasi usaha termasuk pengurangan jumlah karyawan.

Namun menurut Direktur Utama Telkom, Ririek Adriansyah Telkom akan lebih hati-hati dalam berinvestasi di perusahaan rintisan. Ririek mengatakan, dalam melakukan investasi di-startup, Telkom tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga mencari peluang sinergi yang akan diperoleh antara startup tersebut dan Telkom Group yakni Telkom dan seluruh anak usaha. "Dengan begitu kalaupun terjadi naik turun harga saham kami yakin masih bisa monetizing melalui sinergi yang ada," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Strategic Portofolio Telkom, Budi Setyawan Wijaya mengatakan investasi Telkom pada startup akan dilakukan dengan sangat selektif. Budi menyebut, dari sisi value secara multiple pada tahun 2021 investasi Telkom di startup dinilai cukup menguntungkan dengan realized gain mencapai Rp 140 miliar. 

"Selain itu value sinerginya juga cukup besar, dimana pada kuartal I-2022 value synergy dari startup Telkom di Telkomsel dan MDI Ventures lebih dari Rp 500 miliar," ucap dia.
 
BUMN sebagai penopang
 
Upaya Telkom sebagai BUMN Telekomunikasi dalam penopang pendanaan bagi perusahaan rintisan patut dicontoh BUMN lain. Alasannya, seperti yang diungkap Dirut Telkom Ririek Ardiansyah, bahwa berinvestasi di startup tidak hanya sekadar mencari untung. Namun lebih kepada sinergi atau upaya membangun ekosistem digital Indonesia.
 
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam, mengatakan Indonesia merupakan negara dengan jumlah perusahaan start up digital terbanyak kelima di dunia. Yang lebih membanggakan, dari sekian banyak start up digital tersebut terdapat 10 start up yang sudah tergolong unicorn dan dua di antaranya bahkan sudah menjadi decacorn. "Artinya, perusahaan start up di Indonesia memiliki valuasi yang sangat besar, lebih dari Rp 14 triliun atau bahkan lebih dari Rp 140 triliun," ujarnya.
 
Hanya saja besarnya modal asing yang masuk ke unicorn dan decacorn di Indonesia memang kemudian memunculkan kritik tersendiri.  Menurutnya, kehadiran investasi BUMN menjadi jawaban atas kekhawatiran dominasi kepemilikan asing di pada start up asli Indonesia. 
 
Telkom misalnya, melalui anak perusahaanya PT Telkomsel berinvestasi di Gojek yang kemudian merger dengan Tokopedia membentuk Go To. Investasi Telkom di Go To cukup besar mencapai 450 juta dolar atau sekitar Rp 6,75 triliun.
 
Selanjutnya adalah Bank Mandiri yang pada tahun 2016 mendirikan Mandiri Capital. Melalui Mandiri Capital yang merupakan perusahaan ventura, Bank Mandiri sudah melakukan investasi di banyak start up di Indonesia.
 
Berdasarkan data Crunchbase, Mandiri Capital telah menanamkan modal di 23 perusahaan start up, 11 di antaranya sebagai lead investor. Beberapa portofolio Mandiri Capital sudah tumbuh menjadi unicorn yaitu Bukalapak, atau decacorn yaitu GoTo.
 
Tidak ketinggalan Bank BRI. Melalui anak perusahaannya BRI Ventures, perusahaan modal ventura yang didirikan pada tahun 2019, BRI melakukan investasi pada banyak start up di Indonesia. 
 
Merujuk data Crunchbase, BRI Ventures telah menanamkan modal di 21 perusahaan start up dan menjadi lead investor di lima perusahaan yang dibiayai. Beberapa portofolio BRI Ventures sudah tumbuh menjadi unicorn adalah Bukalapak dan Xendit.
Menurut Piter, di balik investasi di start up ada risiko yang pastinya tidak kecil. Terutama ketika start up dengan valuasi yang begitu besar sudah melantai di bursa dan melibatkan begitu banyak investor ritel. 
 
Valuasi start up tidak sepenuhnya tergambarkan dalam pergerakan harga saham. Faktor sentimen akan ikut atau bahkan dominan mewarnai pergerakan harga saham. 
“Risiko pergerakan harga saham start up ketika melantai di bursa ini tentu saja harus dihadapi oleh BUMN yang menjadi investor sejak awal. Harga saham Bukalapak dan Go To yang turun di bawah harga perdana pasti akan memunculkan potensial loss di dalam portofolio mereka. Tetapi hal tersebut seharusnya dilihat sebagai sebuah kewajaran,” ujarnya.
 
Meski demikian, dia menegaskan investasi BUMN di perusahaan startup bukanlah investasi jangka pendek. Kepemilikan saham startup oleh BUMN bukan untuk dijual segera ketika harganya sudah cukup tinggi. 
 
Dengan dasar tersebut, Piter menegaskan ketika sebuah BUMN melakukan potential profit atau potential loss di investasi start up hendaknya diperlakukan hanya sebagai catatan dalam laporan keuangan, bukan sebagai ukuran kinerja BUMN, apalagi sebagai ukuran salah benar sebuah kebijakan.
 
 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement