REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian pasien Covid-19 yang mendapat pengobatan Paxlovid menunjukkan adanya rebound atau kambuhnya gejala secara berulang. Para peneliti mencoba menjelaskan alasan di balik kondisi tersebut.
Infeksi berulang itu patut menjadi perhatian. Baru-baru ini, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) telah mengeluarkan peringatan kesehatan individu tentang rebound Covid-19.
Menurut para pakar, kemungkinan penyebabnya adalah paparan obat yang tidak mencukupi. Paxlovid merupakan obat oral terkemuka yang digunakan untuk mencegah kasus parah Covid-19 pada pasien berisiko tinggi.
Kekambuhan gejala pada pasien setelah pengobatan Paxlovid disebut bukan karena resistensi obat atau gangguan kekebalan. Hal tersebut diulas dalam penelitian yang terbit di Clinical Infectious Diseases.
Tim yang terlibat dalam studi adalah para peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas California San Diego. Mereka mengevaluasi pasien yang mengalami rebound Covid-19 setelah dirawat dengan Paxlovid.
Penulis senior studi, Davey M Smith, menjelaskan bahwa tujuan pemberian Paxlovid adalah untuk mencegah penyakit serius dan kematian. Sejauh ini, tidak ada pasien yang diberi obat tersebut yang perlu dirawat di rumah sakit (mengalami kasus parah) di kemudian hari.
Namun, Smith tetap menyarankan pengguna Paxlovid berhati-hati terhadap risiko kambuhnya gejala. Mereka diimbau mengikuti tindakan pencegahan seperti memakai masker dan karantina jika mendapati tanda-tanda terinfeksi corona.
Dokter spesialis penyakit menular di UC San Diego Health itu juga mencatat bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat seberapa umum jenis rebound terjadi dan pasien mana yang paling rentan. "Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk membantu kami menyesuaikan rencana perawatan seperlunya," kata Smith.
Dalam studi, para peneliti mengisolasi virus SARS-CoV-2 BA.2 dari pasien yang sudah pulih dari Covid-19 untuk menguji apakah virus membuatnya mengembangkan resistensi obat. Tim menemukan bahwa setelah pengobatan, virus masih sensitif terhadap Paxlovid dan tidak menunjukkan jenis mutasi yang akan mengurangi efektivitas obat.
Mereka juga mengambil sampel plasma pasien dan mencatat bahwa antibodi pasien masih efektif mencegah virus masuk dan menginfeksi sel baru. Artinya, sistem kekebalan yang terganggu dapat dikesampingkan sebagai faktor yang berkontribusi terhadap kekambuhan.
Kesimpulan dari studi tersebut yakni rebound Covid-19 setelah pengobatan Paxlovid kemungkinan karena paparan obat yang tidak mencukupi. Akibatnya, sel yang terinfeksi tidak mendapatkan cukup obat untuk menghentikan semua replikasi virus.
Penulis pertama studi, Aaron F Carlin, menyampaikan bahwa itu bisa terjadi karena obat tersebut dimetabolisme terlalu cepat pada beberapa pasien. Bisa juga karena obat perlu diberikan untuk jangka waktu yang lebih lama.
"Perhatian utama kami adalah bahwa virus corona mungkin mengembangkan resistensi terhadap Paxlovid. Jadi, menemukan bahwa bukan itu masalahnya, sangat melegakan," ucap asisten profesor di UC San Diego School of Medicine itu.
Carlin berharap jajaran dokter dapat menguji sebelum memutuskan pasien butuh mendapat pengobatan Paxlovid. Uji dilakukan untuk mengetahui apakah pasien butuh pengobatan dalam jangka waktu yang lebih lama atau harus menerima kombinasi obat, dikutip dari laman Fox News, Sabtu (25/6/2022).