Oleh : Prof Ahmad Zainul Hamdi (Guru Besar UNI Sunan Ampel Surabaya; Petugas Haji Indonesia di Arab Saudi)
REPUBLIKA.CO.ID, Sangat menarik bahwa pesan Nabi agar umatnya tidak ekstrem dalam beragama disampaikan saat beliau berhaji. Rasulullah hanya berhaji sekali seumur hidupnya. Tiga bulan setelah haji, Rasulullah wafat, menghadap Allah SWT dalam kedamaian dan keagungan. Berbagai sabda beliau saat berhaji merupakan pesan-pesan akhir yang penting menjelang kematiannya. Di momentum inilah Rasul mulia mewanti-wanti kita agar tidak beragama secara ekstrem.
Dikisahkan, saat di Muzdalifah, beliau meminta Abdullah ibn Abbas mengambilkan beberapa kerikil untuk melempar jumrah. Di saat menerima kerikil-kerikil itu, beliau mengingatkan kepada kita bahwa salah satu yang menyebabkan orang-orang terdahulu binasa adalah melampaui batas atau ekstrem dalam beragama. Karena itu, beliau berpesan agar kita jangan sampai ekstrem dalam beragama, sebagaimana diriwayatkan al-Nasa’i:
عن عبد الله بن عباس قال قالَ لي رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ غداةَ العقبةِ وَهوَ على راحلتِه: هاتِ القِطْ لي. فلقطتُ لَهُ حصياتٍ هنَّ حصى الخَذفِ، فلمَّا وضعتُهنَّ في يدِه، قال: بأمثالِ هؤلاءِ، وإيَّاكم والغلوَّ في الدِّين، فإنَّما أَهلَكَ من كان قبلَكمُ الغلوُّ في الدِّينِ روه النسائي
Artinya: Dari Ibnu Abbas ra. berkata, “Rasulullah SAW. berkata kepadaku pada waktu pagi hari Aqabah dan beliau berada di atas kendaraannya, “Ambilkanlah kerikil untukku.” Kemudian aku mengambilkannya kerikil-kerikil lontaran. Ketika aku meletakkan kerikil-kerikil tersebut di atas tangannya, beliau bersabda, “Pada setiap lontaran kerikil tersebut, takutlah kalian dengan perbuatan melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah mengalami kerusakan sebab melampaui batas dalam beragama.” (HR. Nasa’i)
Melempar jumrah merupakan rangkaian rukun haji yang secara simbolik menunjukkan perlawanan dan permusuhan manusia kepada syetan. Melontar jumrah merujuk pada peristiwa saat Nabi Ibrahim melempar syetan yang menggodanya. Prosesi melempar jumrah dilakukan di Mina, setelah jamaah haji melaksanakan wuquf di Padang Arafah di bawah terik matahari, dan bermalam atau berhenti sejenak di Muzdalifah.
Melontar jumrah bisa dikatakan sebagai tahap akhir pembuktian ketakwaan seorang manusia kepada Allah. Setelah bermunajat dan mengakui seluruh dosa serta memohon ampunan dan pertolongan kepada Allah dalam peristiwa spiritual yang sangat intens di Padang Arafah, melempar jumrah di Mina adalah langkah terakhir sebelum melakukan korban dengan menyembelih hewan kurban. Ini merujuk pada peristiwa saat Nabiyullah Ibrahim hendak mengorbankan buah hatinya, Nabiyullah Ismail. Di saat inilah syetan datang menggodanya, menghalanginya untuk mengambil langkah pengorbanan. Nabi Ibrahim melempari syetan yang datang menggodanya untuk sampai pada ketetapan hati melakukan pengorbanan sebagai simbol ketaatan mutlak kepada Allah. Nabi Ibrahim berhasil melampaui seluruh godaan ini.
Dalam puncak spiritualitas ini, pesan tertinggi sesungguhnya adalah tauhid. Pada akhirnya, seluruh peristiwa haji memuncak pada pengakuan bahwa tak ada siapapun dan apapun yang keberadaannya dan perintahnya membuat kita harus tunduk dalam ketaatan mutlak, kecuali Allah. Tauhid sebagai puncak kesadaran haji ini penting untuk digarisbawahi. Melempar jumrah sebagai simbolisasi melempar syetan, jika tanpa dibarengi dengan ketauhidan, akan membawa kita pada kejatuhan menuhankan diri sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari, siapakah syetan dalam hidup kita? Di manakah syetan yang harus kita lempar sehingga tak mengganggu kita? Bisa jadi, syetan tidak berada di luar sana, tapi mengeram dalam diri kita. Dalam seluruh ketaatan, selalu ada jebakan untuk merasa paling benar dan paling suci, seakan-akan kita telah mewakili Allah. Kita mengambil alih kewenangan Allah untuk menghakimi orang lain. Di sinilah kita seringkali kehilangan sikap toleran kepada orang, karena merasa bahwa kita adalah kebenaran itu sendiri. Diam-diam, kita menyangka sudah berada dalam puncak ketaqwaan, padahal kita jatuh ke dalam kesyirikan dengan menuhankan diri sendiri.
Di kesempatan lain, Nabi mengingatkan kita bahwa jihad akbar adalah memerangi nafsu yang ada dalam diri. Mina secara bahasa bermakna cita-cita. Untuk menggapai cita-cita luhur dan derajat yang tinggi di sisi-Nya, manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya agar tunduk dan patuh hanya kepada Allah. Untuk itu, kita perlu memerangi syetan yang ada dalam diri kita berupa pikiran kotor, nafsu badani, kerendahan moral, kekejian, dan perbuatan tercela lainnya. Melempar jumrah merupakan lambang perlawanan manusia melawan seluruh dorongan yang menjauhkan manusia dari pesan-pesan mulia keagamaan.
Perintah untuk tidak terjebak ke dalam pandangan mutlak-mutlakan dengan membenarkan diri sendiri dan mengkafirkan orang lain sering muncul dalam situasi-situasi krusial. Haji adalah adalah salah satu peristiwa krusial dalam hidup seorang Muslim. Setelah haji, jika tidak hati-hati, seseorang bisa terjebak ke dalam situasi seakan-akan telah berada dalam maqam kesucian.
Di dalam al-Qur’an, Allah mengingatkan kita untuk bersikap moderat justru saat perang. Perang juga adalah momentum krusial bagi seseorang. Perang atas nama agama seringkali membuat seseorang berada dalam pandangan hitam putih, di mana dia merasa sepenuhnya benar dan musuhnya sepenuhnya salah. Karena ada jebakan seperti ini, maka Allah mewanti-wanti agar kita tidak mudah menuduh orang lain sebagai kafir. Hal ini terekam dalam surah al-Nisa’:94:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا ضَرَبْتُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَتَبَيَّنُوا۟ وَلَا تَقُولُوا۟ لِمَنْ أَلْقَىٰٓ إِلَيْكُمُ ٱلسَّلَٰمَ لَسْتَ مُؤْمِنًا الاىة
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu: "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya)"
Menginsafi ini semua membuat kita sadar mengapa pada saat hendak melempar jumrah, pesan suci yang justru disampaikan oleh Nabi junjungan kita adalah pesan agar kita tidak melampaui batas (ekstrem) dalam beragama. Hasrat ketaatan kepada Allah, jika tidak disertai dengan sikap tawadhu’, akan menyeret kita pada penuhanan diri sendiri. Memandang orang lain sepenuh adalah syetan yang harus dilempar dan dienyahkan, sementara lupa bahwa mungkin syetan itu adalah diri kita sendiri.