Selasa 05 Jul 2022 10:26 WIB

Perbedaan Idul Adha, Mengapa Harus Pusing?

Umat Islam sudah ditempa dengan perbedaan.

Petugas mengamati posisi hilal menggunakan teropong saat pelaksanaan Rukyatul Hilal di Pantai Jerman, Kuta, Badung, Bali, Rabu (29/6/2022).
Foto: ANTARA/Fikri Yusuf
Petugas mengamati posisi hilal menggunakan teropong saat pelaksanaan Rukyatul Hilal di Pantai Jerman, Kuta, Badung, Bali, Rabu (29/6/2022).

Oleh : Ani Nursalikah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Alhamdulillah, kurang dari satu pekan, umat Islam akan menyambut datangnya Hari Raya Idul Adha 1443 Hijriyah. Tapi, perdebatan mengemuka soal kapan tepatnya kita di Indonesia harus berpuasa sunnah Arafah.

Apa pasal? Ini disebabkan perbedaan jatuhnya hari Idul Adha. Muhammadiyah sejak jauh hari sudah menetapkan Idul Adha akan jatuh pada 9 Juli 2022. Sedangkan pemerintah melalui Kementerian Agama melalui sidang isbat memutuskan Idul Adha akan jatuh pada 10 Juli 2022.

Arab Saudi pun sudah menetapkan Idul Adha jatuh pada 9 Juli. Ini kemudian berimbas pada 'bingungnya' sebagian umat di Indonesia menngenai kapan mereka harus memulai puasa Arafah.

Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilakukan satu hari sebelum Idul Adha atau tepatnya pada 9 Dzulhijjah. Di hari ini, jamaah haji dari seluruh dunia melaksanakan wukuf di Padang Arafah.

Berusaha menjawab kegalauan tersebut, Ketua Falakiyyah PBNU KH Sirril Wafa menjelaskan tentang perbedaan penetapan Idul Adha antara Indonesia dengan Saudi. Pada kasus awal penetapan Dzulhijjah tahun ini, di Arab Saudi posisi hilal baik tinggi maupun elongasinya dinilai sudah memungkinkan untuk dapat dirukyat.

Sementara di Indonesia sudah diambil sikap dengan penerapan kriteria baru (Neo MABIMS dengan tinggi hilal minimal 3 derajat dengan elongasi minimal 6,4 derajat) dan di seluruh Indonesia belum mencapai kriteria. Dengan diperkuat laporan hasil rukyat yang nihil, maka dengan penjelasan tersebut antara kedua negara suatu saat bisa menjadi bersamaan dalam mengawali bulan. Karena itu, penetapan Idul Adha saat ini berbeda antara kedua negara. 

Kiai Sirril menekankan hari Arafah adalah hari/tanggal 9 Dzulhijjah. Hari tersebut tidak mutlak sama dengan hari pelaksanaan wukuf di Arafah, kecuali jika di Arab Saudi sendiri.  

Jadi, kalau di Indonesia tanggal 9 Dzulhijjah itu Sabtu, hari itu namanya hari Arafah yang disunnahkan puasa. Meskipun, pada saat yang sama di Saudi sudah Idul Adha dan haram berpuasa karena di sana sudah tanggal 10 Dzulhijjah. 

"Jadi tidak mutlak bersamaan dengan pelaksanaan wukuf di Padang Arafah. Dalam sejarah, umat Islam tetap laksanakan puasa Arafah meskipun di Saudi tidak selenggarakan ibadah haji (tidak ada peristiwa wukuf di dalamnya) karena situasi perang. Perbedaan ini layaknya seperti beda waktu sholat antara dua lokasi," ujarnya. 

Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais dan Binsyar) Kemenag, Adib, menjelaskan perbedaan waktu Idul Adha di Indonesia dan Arab Saudi disebabkan karena letak Arab Saudi lebih barat dari Indonesia.

"Waktu di Indonesia lebih cepat empat jam, tetapi hilal justru mungkin terlihat lebih dahulu di Arab Saudi, karena terlihatnya di sebelah barat pada saat matahari terbenam atau dikenal dengan istilah ghurub asy-syams," kata Adib melalui pesan tertulis yang diterima Republika, Ahad (3/7/2022).

Sekretaris Komisi Fatwa MUI KH Miftahul Huda menjelaskan hingga saat ini belum ada fatwa yang menjelaskan jika terjadi perbedaan puasa sunnah Arafah antara Indonesia dan Arab Saudi. Dalam kaidah ushul fikih, keputusan menentukan satu Dzulhijjah jatuh pada Jumat, 1 Juli 2022, maka pemerintah menghapus perbedaan pendapat kajian fikih termasuk perbedaan puasa sunnah Arafah. 

"Sehingga seharusnya umat Islam di Indonesia tidak perlu galau lagi untuk menjalankan puasa Arafah dan tetap mengikuti keputusan pemerintah," kata dia.

Namun, sebuah pertanyaan menggelitik saya. Apakah semua kegalauan ini perlu? Apalagi jika sampai mengundang perdebatan. Bukankah kita sudah kerap ditempa dengan perbedaan?

Pelaksanaan awal Ramadhan hingga penentuan Idul Fitri sudah sering kita lalui dengan segala perbedaan. Ketika akhirnya kita beberapa tahun terakhir merayakan Idul Fitri, itu adalah nikmat yang patut kita syukuri. Tentunya, perbedaan itu tidak kita besar-besarkan hingga mengundang perpecahan. Pada akhirnya, tiap orang memiliki keyakinan masing-masing. Dan, itu menjadi hak yang bersangkutan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement