Selasa 12 Jul 2022 14:29 WIB

Filantropi dan Anatomi Kapitalisme Relijius

Kapitalisme relijius bisa diartikan sebagai praktik kapitalis dengan nuansa kesalehan

Suasana kantor Aksi Cepat Tanggap (ACT) Sulsel di, Makassar, Sulawesi Selatan.
Foto: ANTARA FOTO/Abriawan Abhe
Suasana kantor Aksi Cepat Tanggap (ACT) Sulsel di, Makassar, Sulawesi Selatan.

Oleh : Zulfan Tadjoeddin, Associate Professor in Development Studies, Western Sydney University

REPUBLIKA.CO.ID, Kasus kapitalisasi pengumpulan donasi oleh ACT terus ditelisik oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) dan Bareskrim (Badan Reserse Kriminal) Polri. Praktik kapitalisasi donasi ala ACT adalah salah satu contoh dari kapitalisme relijius. Kapitalisme adalah proses akumulasi dalam sistem pasar terbuka. Kapitalisme menawarkan insentif, mewakili sifat alamiah manusia untuk bertumbuh dan meraih kemakmuran, walau rawan eksploitasi.   

 

Secara sederhana, kapitalisme relijius bisa diartikan sebagai praktik kapitalis dengan nuansa kesalehan. Proses akumulasi dan eksploitasi berlangsung dengan mengkapitalisasi aspek-aspek kesalehan tersebut.

Ada dua model besar dari kapitalisme relijius (KR). Mari kita lihat anatominya. Yang pertama dan paling tinggi kadar KR-nya adalah “kapitalisasi donasi”. Di bawah itu, ada model kedua, yaitu “kapitalisasi barang normal (produk/jasa) bernuansa reliji".

Kita mulai dari yang bawah ini dulu. Segala sesuatu dengan embel-embel syariah masuk kategori ini. Begitu pula dengan berbagai macam produk perjalanan spritual ke tanah suci (holy land). Labelisasi halal-pun masuk kategori ini. Produk bernuansa reliji ini tidaklah unik untuk satu agama tertentu, ia berlaku umum.

Tak ada yang salah dengan semua ini. Barang normal bernuansa reliji masih berupa produk. Ada wujud nyatanya. Ada permintaan, ada penawaran. Ada rupa, ada harga. Pasar ini pun menuntut inovasi dan kreatifitas, dan semua itu mendatangkan kompensasi (reward). Begitulah pasar bekerja.

Sayangnya, penggunaan nuansa reliji tersebut terkadang kebablasan. Acapkali, atas nama kesalehan, konsumen bersikap tidak kritis dan menjadi objek ekploitasi dan penipuan. Banyak contoh kasusnya, terutama di masyarakat dengan tingkat relijiusitas yang tinggi, seperti Indonesia.

Sekadar menyebut beberapa misal: ditilapnya uang peserta umrah oleh First Travel, penipuan perumahan berkedok syariah yang sudah sering terjadi, dan berbagai kasus investasi bodong berbalut agama. Ketika terjadi fraud (penipuan), jargon “ikhlas” dan “toh sesama saudara se-iman” sering terdengar. Agama menjadi penenang (comforter), seperti disinyalir Marx dua abad lalu.

Sebaliknya, proses kapitalisasi barang normal tanpa nuansa reliji terasa lebih jujur. Yang jelek akan dihukum pasar. Yang baik dicari orang. Umpan balik (feedback) bekerja cepat. Satu contoh, Apple sangat responsif atas feedback konsumen. Layanan purna jualnya sangat memuaskan. Spesifikasi produk selalu diperbaharui (upgrade). Konsumenpun rela merogoh kocek lebih dalam.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement