REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno menilai Indonesia tidak akan masuk dalam situasi krisis berdimensi stagflasi. Sehingga, ia meyakini krisis yang terjadi di Sri Lanka tidak akan terjadi di Indonesia.
Stagflasi adalah krisis yang terjadi secara kombinasi antara stagnasi dan inflasi. Stagnasi ditandai dengan tingginya angka pengangguran karena rendahnya pertumbuhan ekonomi. Sementara inflasi ditandai kenaikan harga secara umum karena jumlah uang yang beredar lebih cepat dibandingkan persediaan barang di pasaran.
“Jadi, stagflasi artinya kondisi ekonomi yang diwarnai oleh dua penyakit terbesar ekonomi yaitu pengangguran sekaligus inflasi. Tetapi, Indonesia agak beruntung karena memiliki tiga kondisi yang jarang dimiliki oleh negara lain yang saat ini krisis,” ujar Hendrawan dalam keterangannya Kamis (14/7/2022).
Faktor pertama tersebut adalah pasar domestik di Indonesia sangat besar, ditandai dengan jumlah populasi 270 juta penduduk. Menurutnya, dengan besarnya penduduk Indonesia tersebut akan menjadi ‘bantalan’ ekonomi ketika pertumbuhan ekonomi dunia melemah.
“Karena pasar yang besar, memberikan peluang kepada industri untuk bergerak atau hidup meskipun dalam kapasitas industri yang tidak begitu maksimal karena pengaruh ekonomi global tadi,” ujar politisi PDI-Perjuangan itu.
Faktor kedua adalah Indonesia memiliki produk ekspor komoditas (nonmigas) yang bervariasi di pasar global. Diketahui, ekspor nonmigas ini masih mendominasi total ekspor Indonesia, yakni mencapai 22,84 miliar dolar AS per November 2021.
Komoditas unggulan dalam ekspor nonmigas Indonesia meliputi kelapa sawit, batu bara, karet, kopi, teh, dan kakao. Beberapa negara tujuan ekspor beberapa komoditas tersebut di antaranya adalah China, India, Filipina, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, dan sebagainya.
“Ketika ekspor kayu menurun, tetapi tiba-tiba batu bara naik, kelapa sawit naik, nikel naik dan seterusnya. Tidak seperti Sri Lanka yang ekspornya terbatas pada satu atau dua komoditas saja,” tuturnya.
Faktor ketiga ketergantungan eksternal Indonesia, khususnya dalam hal keuangan, relatif masih terkendali. Hal itu ditunjukkan dengan rasio utang terhadap GDP masih berada dalam kisaran 39 persen atau setara dengan Rp 7.040,32 triliun per April 2022, sementara Sri Lanka menunjukkan angka 107 persen dengan tingkat inflasi sekitar 54,6 persen per Juni 2022 silam.
Debt to GDP ratio Indonesia tersebut masih berada jauh di bawah ketentuan ambang batas yang diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara, yakni 60 persen dari GDP. Meskipun demikian, Hendrawan menegaskan, Indonesia harus hati-hati dikarenakan masih menghadapi defisit seperti defisit APBN, dan defisit transaksi berjalan meskipun dalam beberapa bulan ini mencatatkan angka surplus.
“Karena penghasilan yang mendadak naik dari sektor komoditas. Kemudian defisit keseimbangan primer. Dibandingkan negara lain, kondisi fiskal kita meski tidak sehat betul, tetapi masih relatif terkendali. Tiga kondisi ini, membuat ekonomi kita mestinya lebih tahan menghadapi guncangan eksternal,” jelas Hendrawan.