REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pria yang hidup di Amerika Serikat (AS) memiliki kondisi kesehatan yang jauh lebih buruk dibandingkan negara kaya lainnya. Studi juga mengungkapkan bahwa pria AS cenderung lebih stres dan lebih rentan terhadap kematian.
"Studi ini memperjelas bahwa pria AS lebih sakit, lebih stres, dan memiliki tingkat kematian yang jauh lebih tinggi dibandingkan pria dari negara-negara lain," jelas ketua tim peneliti dan peneliti senior dari Commonwealth Fund's International Program in Health Policy and Practice Innovation, Munira Z Gunja, seperti dilansir Gizmodo, Sabtu (16/7/2022).
Data terbaru ini diungkapkan dalam laporan terbaru yang dirilis oleh Commonwealth Fund beberapa waktu lalu. Dalam laporan ini, tim peneliti melakukan penelitian terhadap kesehatan warga di negara-negara berpendapatan tinggi seperti AS, Norwegia, Belanda, Australia, Inggris, Jerman, Kanada, Selandia Baru, Prancis, dan Swedia.
Berdasarkan laporan terbaru ini, pria AS memiliki risiko paling tinggi (29 persen) untuk mengidap beberapa masalah kesehatan kronis sekaligus. Selain itu, pria AS merupakan kelompok kedua setelah pria Australia yang paling banyak membutuhkan layanan kesehatan mental.
Kasus kematian yang bisa dihindari juga paling tinggi terjadi pada pria AS. Kematian yang bisa dihindari merupakan kematian yang terjadi sebelum usia 75 tahun.
Kondisi yang lebih buruk tampak dialami oleh pria AS dengan kondisi finansial yang belum baik. Kelompok ini memiliki kemungkinan lebih besar untuk tak mengunjungi dokter dan tidak mampu membayar biaya perawatan kesehatan.
Pria AS tampak hanya unggul pada satu kategori yaitu kanker prostat. Tingkat kematian akibat kanker prostat di AS lebih rendah dibandingkan negara-negara lainnya.
Data-data ini dinilai cukup ironis mengingat AS merupakan negara yang memiliki sumber daya lebih besar dibandingkan negara-negara lain. Namun di saat yang sama, kondisi kesehatan pria di negara tersebut secara umum lebih buruk dibandingkan negara-negara berpendapatan tinggi lain.
"Amerika Serikat merupakan negara demokrasi terkaya di dunia, meski begitu mereka gagal untuk menyediakan layanan kesehatan universal yang membuat 16 juta pria (hidup) tanpa asuransi dan mungkin lebih banyak lagi, karena sangat tingginya biaya," lanjut Gunja.
Menurut para peneliti, salah satu faktor yang paling mempengaruhi kondisi ini adalah tidak adanya sistem penjaminan kesehatan universal bagi warga AS. Hal ini berbeda dengan negara-negara maju lain di mana negara menghadirkan sistem penjaminan kesehatan universal dengan sistem //single payer//. Melalui sistem ini, sebagian besar biaya layanan kesehatan warga dibayar oleh pemerintah menggunakan uang pajak.
"Kondisi ini sebagian besar disebabkan oleh banyaknya warga (AS) yang tak mampu membayar layanan kesehatan yang mereka butuhkan," ungkap Gunja.
Sistem single payer di AS dinilai dapat membantu menghadirkan sistem penjaminan kesehatan universal bagi seluruh warganya. Selain itu, kehadiran sistem ini juga bisa membantu menekan biaya layanan kesehatan di AS yang sangat tinggi. Kehadiran sistem ini juga tak akan menutup ruang bagi perusahaan asuransi kesehatan swasta untuk tetap beroperasi.