Bilal Ramadhan, pendidik dan aktivis pendidikan
REPUBLIKA.CO.ID, Saat itu, sekitar 1999, saya baru masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), tak sengaja melihat sebuah serial kartun Jepang di stasiun televisi Indosiar. Memang saat itu, jumlah stasiun televisi masih terbatas. Apalagi yang menayangkan acara serial kartun mungkin selain Indosiar, juga ada RCTI.
Dan serial kartun Jepang ini sangat membekas di hati saya hingga saat ini. Acara kartun itu namanya Great Teacher Onizuka atau kerap disingkat dengan GTO. Saya sudah terpesona sejak episode pertama serial GTO tersebut. Namun entah kenapa, serial kartun tersebut hanya ditayangkan beberapa episode saja. Selebihnya dihentikan karena dengan alasan, serial tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai kultur di Indonesia. Serial tersebut juga katanya menampilkan kekerasan dan juga pronografi.
Namun sejak menonton GTO, saya mulai membayangkan bagaimana jika memang ada guru yang seasyik dan segila Onizuka dalam kehidupan nyata. Apakah mungkin ada guru yang mau berbaur dengan siswanya? Apakah mungkin ada guru yang mau capek-capek ikut menyelesaikan masalah siswa-siswanya di luar sekolah? Apa mungkin ada guru yang di balik sikap ‘slengeannya’, tapi juga menaruh perhatian yang besar kepada siswa-siswanya?
Bisa dibilang menonton beberapa episode serial GTO bisa mengubah sikap dan karakter saya. Dulu saya kecil, tak pernah terpikirkan untuk menjadi guru. Sama sekali. Tapi seorang Onizuka memberikan inspirasi, bahwa seburuk apapun seseorang di masa lalunya, dia bisa berguna buat orang lain.
Jangan bayangkan seorang Eiikichi Onizuka ini merupakan guru baik dan teladan dengan misi suci untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Jangan. Karena kita akan kecewa jika sudah memiliki ekspektasi berlebihan untuk menonton serial ini.
Onizuka di masa lalu terlibat dengan geng motor. Saat dia di SMA pun, kehidupannya selalu terlibat dengan kekerasan. Hingga Onizuka kemudian dikenal sebagai pimpinan geng motor terkenal di salah satu kota di Jepang.
Karena Onizuka yang sudah berusia 22 tahun tapi hanya bekerja serabutan dan pekerjaan yang tidak tetap, dia menceritakan kepada seorang sahabatnya sejak masa sekolah bahwa dia tertarik untuk menjadi guru di Sekolah Menengah Atas (SMA). Tujuannya pun nyeleneh dan cenderung mesum. Dengan menjadi guru SMA, Onizuka berpikir bisa lebih dekat dengan anak-anak berusia menjelang dewasa. Onizuka juga berniat untuk menikahi perempuan berusia anak-anak SMA.
Hingga kemudian Onizuka melamar di satu SMA dan diterima, namun bukan di SMA, tapi Onizuka diminta kepala sekolah untuk mengajar kelas 3 SMP. Harapannya pun sempat hancur. Dia juga sempat berpikir untuk mundur dari pekerjaan sebagai guru.
Namun jiwa tantangan kembali meluap saat tahu dia menjadi wali kelas di satu kelas 3 yang ternyata sangat bermasalah. Beberapa wali kelas sebelumnya mengundurkan diri, dan bahkan wali kelas terakhir malah mengalami stres dan depresi karena menghadapi siswa-siswa di kelas tersebut.
Mengajar versi Onizuka
Sebelum diterima di sekolah tersebut, ada satu insiden dimana beberapa alumni sekolah membawa senjata dan mencari-cari wakil kepala sekolah di sekolah itu. Wakil kepala sekolah yang mengetahui Onizuka merupakan mantan anggota geng pun meminta pertolongan kepada Onizuka.
Beberapa alumni sekolah mengatakan wakil kepala sekolah telah membunuh mimpi mereka. Wakil kepala sekolah ini pun terus menerus menyebut mereka dengan istilah ‘sampah’. Melihat wakil kepala sekolah yang tidak sadar dan malah bangga dengan apa yang dilakukannya. Onizuka pun kesal. Dia langsung menghampiri si wakil kepala sekolah, meremas tubuhnya dengan kedua tangannya dan membanting tubuh wakil kepala sekolah ke arah belakang.
Sambil berjalan ke luar dari sekolah, Onizuka mengatakan jika menjadi guru malah kemudian menjadi mimpi buruk untuk siswa, buat apa dia menjadi guru. “Kalian panggil orang sampah, seakan-akan mereka benda. Mengapa kekerasan verbal ini dibolehkan? Karena guru-guru seperti kalian, anak-anak ini dikeluarkan dari tempat aman mereka. Jika kalian sebut ini pendidikan, aku tak ingin jadi guru. Kutolak dengan senang hati”.
Hal inilah yang kemudian kepala sekolah yang diam-diam memperhatikan Onizuka sejak sebelum wawancara sebagai guru di sekolah itu, memilih untuk menerimanya. Kepala sekolah mengatakan tidak sabar dengan perubahan yang akan terjadi di sekolah jika Onizuka menjadi guru di sekolah tersebut.
Gerakan membanting tubuh ke belakang yang dilakukan Onizuka merupakan teknik german suplex. Teknik ini merupakan salah satu gerakan dalam cabang olahraga gulat dengan mengangkat dan membanting tubuh lawan berlawanan dengan arah jarum jam.
Tetapi german suplex dalam konteks cara mendidik ala GTO adalah dengan berani menghadapi persoalan siswa satu per satu. Cara ini akan memberikan efek kejut bagi siswa, agar mereka memandang guru dengan cara pandang baru.
Onizuka memberi syarat bagi siswa yang butuh pertolongannya, untuk pertama-tama menjadi teman. Relasi guru-siswa dalam situasi tertentu, dikesampingkan lebih dulu, dan mengedepankan prinsip egaliter sebagai teman. Ketika menjadi teman, maka pertolongan bisa diberikan tanpa batas, dan bila perlu menerobos batas-batas tugas-pokok-fungsi guru.
Kalau beberapa tahun terakhir ini kita mendengar bahwa guru menjadi fasilitator belajar siswa, maka Onizuka melangkah lebih jauh lagi. Guru menjadi teman bagi siswa. Secara lisan tampaknya mudah, tapi realitasnya sulit.
Tidak banyak guru yang mau meluangkan waktu, tenaga, dan uang untuk mendampingi siswanya secara personal satu per satu. Dengan menjadi teman, berarti guru juga harus mau meletakkan superioritas dan senioritas mereka di depan siswa.
Di pihak sebaliknya, siswa juga harus mau menerima bahwa guru bisa saja membantu mereka menyelesaikan persoalan pribadi. Bahkan bila perlu, guru masuk dalam ranah kehidupan pribadi siswa.
Saat pertama kali Onizuka masuk ke kelas yang diampunya, ternyata tidak sesuai bayangannya bahwa siswa-siswa bermasalah ini akan berisik, tidak menghormatinya dan bahkan memberikan perilaku-perilaku yang tidak pantas di depannya.
Di kelas ini, ternyata siswa-siswanya diam, terlihat baik dan justru menghormati Onizuka yang pertama masuk menjadi wali kelas mereka. Ternyata mereka merupakan siswa-siswa yang mengerjai guru di belakang. Misalnya, keesokan harinya, ada foto Onizuka bersama beberapa wanita tuna susila (WTS) dengan pose tubuh yang sangat vulgar.
Foto ini hasil editan salah satu siswa di kelas itu yang memang dikenal ahlinya dalam berbagai hal yang berkaitan dengan komputer. Seluruh siswa dan juga guru percaya dengan hasil editan foto tersebut. Hal ini dimaklumi karena di tahun tersebut, komputer masih jadi hal yang langka. Sehingga foto-foto editan menjadi suatu keahlian yang sangat jarang dimiliki saat itu.
Apakah Onizuka marah dikerjai siswanya? Justru tidak. Dia malah mencari siswanya yang membuat foto editan tersebut. Setelah ditemukan, Onizuka justru meminta siswa tersebut membuat foto editan dia bersama tokoh-tokoh idola di Jepang sebanyak-banyaknya. Siswa ini pun mulai menaruh respect terhadap Onizuka.
Onizuka juga melakukan pendekatan yang berbeda saat menangani siswanya yang berupaya untuk bunuh diri. Siswa ini merupakan siswa laki-laki yang justru menjadi korban bullying dari tiga siswa perempuan di kelas yang diampu Onizuka.
Beberapa kali Onizuka menyelamatkan siswa tersebut yang ingin melompat dari atap sekolah, bahkan Onizuka pun ikut jatuh ke lantai 1. Setelah tahu siswa ini justru ahli dalam permainan game di komputer, Onizuka meminta siswa tersebut untuk taruhan main game komputer. Dan Onizuka pun tak pernah menang dan meminta siswa tersebut untuk mengajarkannya. Perlahan-lahan, Onizuka mengangkat motivasi siswa tersebut dari kelebihan yang dimilikinya.