REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK--Beberapa supermarket di Amerika Serikat (AS) sempat mendapat iming-iming penekanan biaya operasional lewat penggunaan mesin self service atau self-checkout. Mesin itu dianggap bisa memangkas biaya gaji untuk kasir.
Dikutip dari CNN pada Selasa (12/7/2022), ternyata penggunaan mesin tersebut justru menimbulkan persoalan. Perusahaan justru mengeluarkan biaya gaji yang lebih besar untuk staf IT, untuk perawatan dan pemutakhiran data pada mesin pembayaran mandiri tersebut.
Perawatan mesin itu juga tak sederhana. Proses itu mutlak perlu dilakukan agar mesin bisa benar-benar memberikan kemudahan bagi konsumen. Meski, pada kenyataanya, terdapat sebuah survei yang membuktikan suatu ironi.
Dalam suatu survei pada 2021, disebut bahwa dari 1000 transaksi yang dilakukan konsumen, 67 persen diantaranya mengalami persoalan sehingga transaksi jadi terhambat. Jika sudah mengalami persoalan, maka ujung-ujungnya transaksi harus dilakukan dengan bantuan pegawai dan membuat proses transaksi jadi lebih lama.
Otomatis, hal itu membuat antrian konsumen jadi lebih lama. Persoalan yang ada pun membuat konsumen berpotensi membatalkan pembelian untuk beberapa item yang tak mampu dipindai oleh mesin. Selain itu, penerapan mesin self service juga membuka peluang bagi konsumen nakal untuk melakukan pencurian.
Alhasil, mesin yang diperkenalkan pada 1986 ini tak hanya merugikan konsumen tapi juga membuat supermarket bisa mengalami defisit pendapatan. Salah satu jaringan supermarket di AS yang bernama Big Y pun akhirnya tak lagi menggunakan mesin serlf service pada 2011.
Saat itu, Big Y menyatakan, mesin tersebut sering bermasalah dan membuat konsumen harus menunggu staf supermarket untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut. Sejumlah persoalan yang kerap muncul diantaranya adalah kegagalan mesin dalam memindah barcode dan persoalan terkait voucher pembayaran.
Sosiolog Drew University, Christopher Andrews pun tak terkejut dengan beragam penolakan atas mesin tersebut. "Mesin self-checkout ternyata tak mampu memberikan manfaat yang dijanjikan," kata Christopher Andrews.
Pada 1988, suatu artikel dalam Miami Herald menyebut bahwa terobosan ini bisa menekan biaya tenaga kerja sebesar 66 persen. Tapi, asumsi itu dipatahkan oleh fakta yang berjalan sekian tahun setelah penerapan mesin "canggih" itu.
Professor Emeritus di University of Leicester, Adrian Beck mengatakan, suatu toko ritel dengan komposisi transaksi lewat mesin self service sebesar 50 persen maka toko tersebut berpeluang mengalami peningkatan kerugian sebesar 77 persen. Jumlah itu pun otomatis akan menggelembung jika transaksi self service berada pada level di atas 50 persen.
Menurutnya, salah satu kontributor kerugian terbesar adalah dari celah yang dimanfaatkan oleh konsumen. Karena, dengan sistem ini, maka konsumen bisa membeli tanpa melakukan pemindaian. Bisa juga, konsumen menukar belanjaan berharga murah dengan barang yang harganya lebih mahal setelah barang berharga lebih murah itu di-input ke dalam sistem pembayaran.
Sejumlah mesin pun telah menerapkan fitur anti pencurian atau anti-theft dengan menggunakan sensor berat. Tapi, sendor itu terkadang kurang akurat dan membuat mesin memunculkan notifikasi sehingga memaksa konsumen untuk mengurai barang belanjaan dan melakukan penghitungan ulang.