REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Forum Rektor Indonesia Panut Mulyono ingin agar pimpinan perguruan tinggi betul-betul siap dengan regulasi dan tata tertib jika mengizinkan kampus yang dipimpinnya untuk dijadikan tempat kampanye pemilu. Hal tersebut agar semua pelaksanaan kampanye di kampus berjalan dengan baik dan lancar.
"Jika massa yang banyak berkampanye di kampus tentu akan mengganggu ketertiban. Bentuk-bentuk kampanye dengan penyampaian gagasan saya kira lebih cocok. Dan kampus juga harus netral sebagai penyelenggara," ujar Panut kepada Republika, Senin (25/7/2022).
Mengenai pernyataan yang menyebut kampus dapat tempat berkampanye untuk pemilu mendatang, ia mengatakan, pada prinsipnya tidak masalah sepanjang tidak mengganggu pelaksanaan kegiatan akademik di kampus. Pihak-pihak terkait pun harus dapat menjaga kondusivitas suasana kampus.
"Konten kampanye di kampus seyogyanya berisi gagasan-gagasan cerdas namun realistis dan implementatif untuk percepatan pencapaian kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Format kampanye dalam bentuk debat publik antar pasangan calon juga cocok untuk dilaksanakan di kampus," jelas dia.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari menegaskan bahwa kegiatan kampanye di lingkungan kampus diperbolehkan. Hasyim menjelaskan, Pasal 280 ayat 1 huruf H Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu melarang penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
"Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan. Yang dilarang itu apa? Menggunakan fasilitas, bukan kampanyenya. Clear, ya?" kata Hasyim di Jakarta, Sabtu, (23/7).
Hasyim menambahkan, penjelasan pasal tersebut menyebutkan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan dapat digunakan untuk kampanye politik jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu. Kampanye juga diperbolehkan atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
"Jadi, kampanye di kampus itu boleh. Dengan catatan apa? Yang mengundang misalkan rektor, pimpinan lembaga, boleh," ujarnya.
Namun, pihak kampus yang mengundang juga harus memperlakukan hak yang sama ke seluruh peserta pemilu. Mengenai apakah peserta pemilu memenuhi undangan itu atau tidak, hal tersebut diserahkan ke masing-masing peserta pemilu.
"Misalkan, kampus memberikan jadwal silakan tanggal 1 sampai 16, hari pertama partai nomor 1 dan seterusnya sampai 16, mau digunakan atau tidak kan terserah partai. Tapi, intinya, memberikan kesempatan yang sama," jelasnya.
Begitu juga pengaturan durasi dan frekuensi kampanye juga harus sama. Hasyim menjelaskan, durasi kampanye di kampus dibatasi maksimal hanya dua jam.
"Mau dikurangi satu jam boleh, tapi kalau lebih dari dua jam itu yang nggak boleh. Tapi, sekali lagi, inisiatifnya dari pemimpin kelembagaan atau pengelola fasilitas pemerintah tersebut," ucapnya.
Hasyim menuturkan, kampanye di lingkungan kampus penting dilakukan mengingat mahasiswa dan dosen memiliki hak suara untuk memilih. Dengan digelarnya kampanye di kampus, para akademisi bisa mengkritik janji kampanye yang dilontarkan para peserta pemilu.
"Wong mahasiswanya pemilih, dosen-dosennya juga pemilih, pengen tau dong siapa capresnya, siapa calon DPR nya, visi misinya kaya apa, apa janji-janjinya visi misinya untuk pengembangan dunia akademik kan perlu diketahui dan perlu di-challenge, perlu dipertanyakan, realistis nggak dalam durasi waktu tertentu itu menjanjikan kampanye seperti ini dan itu. Itu penting," terangnya.