Rabu 27 Jul 2022 15:57 WIB

Merangkul Fenomena Citayam Fashion Week dengan Penguatan Moral

Ruang kebebasan berekspresi yang kita percayakan kepada generasi muda jadi kebablasan

Petugas gabungan mengatur arus lalu lintas saat peragaan busana di Taman Dukuh Atas, Jakarta, Senin (25/7/2022). Petugas gabungan dari Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Perhubungan, PPSU dan Satpol PP menjaga kawasan Taman Dukuh Atas karena dijadikan ajang Citayam Fashion Week yang membuat arus lalu lintas terhambat, berserakan sampah dan menimbulkan kerumunan. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Petugas gabungan mengatur arus lalu lintas saat peragaan busana di Taman Dukuh Atas, Jakarta, Senin (25/7/2022). Petugas gabungan dari Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Perhubungan, PPSU dan Satpol PP menjaga kawasan Taman Dukuh Atas karena dijadikan ajang Citayam Fashion Week yang membuat arus lalu lintas terhambat, berserakan sampah dan menimbulkan kerumunan. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: KH Nurul Badruttamam, S.Ag., M.A, Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU

Fenomena Citayam Fashion Week resmi ditutup hari ini. Setidaknya informasi ini telah beredar di lini masa. Citayam Fashion Week beberapa waktu lalu berhasil mencuri perhatian dari kalangan pengguna media sosial. Kemunculan anak-anak muda dari daerah penyangga Jakarta yang kemudian viral dengan sebutan SCBD (Sudirman, Citayam, Bojong Gede dan Depok) menjadi perbincangan hangat karena kiprah muda-mudi yang berpakaian nyentrik dalam membuat konten kreatif dan berlenggak lenggok menirukan peragaan busana layaknya model Internasional.

Kreativitas muda-mudi ini tentu saja patut kita apresiasi, di tengah dinamika perkembangan teknologi informasi yang begitu hebatnya, generasi ini berhasil menaklukkan teknologi bukan hanya sebagai penggunanya saja. Mereka ambil bagian sebagai konten kreator yang kemudian menjadi hype dan menjadi trend di masyarakat.

Sebut saja Jeje, Bonge, Kurma, Roy dan lainnya yang berhasil menjadi seleb Instagram maupun tiktok dan berhasil mendapatkan popularitas juga penghasilan dari konten yang mereka ciptakan. Apresiasi juga datang dari berbagai kalangan, tak terkecuali Presiden Jokowi, menurutnya kegiatan tersebut justru harus didukung dan didorong selama sifatnya positif serta tidak melanggar hukum.

Memetakan Masalah Fenomena Citayam Fashion Week

Saya berkesempatan merasakan langsung suasana Citayam Fashion Week ketika saya melipir ke Dukuh Atas dan melihat langsung bagaimana muda-mudi usia belasan tahun saling beradu gaya di zona yang jadi buah bibir semua kalangan juga media. Tentu saya dibuat takjub dengan kreatifitas dan gaya mereka.

Di sisi lain saya juga sangat terpukul sekaligus prihatin, miris melihat muda-mudi saling merangkul bebas, dan “maaf” saling bercumbu tanpa batas tanpa menghiraukan lagi norma dan adat ke-Indonesiaan kita. Bagaimana mungkin, ruang kebebasan berekspresi yang sudah kita percayakan kepada generasi kita menjadi teramat kebablasan.

Banyak sekali pertanyaan bergelayut di benak saya, apalagi membayangkan fenomena Citayam Fashion Week yang kabarnya saat ini mulai menjamur dan dicopy di berbagai daerah lainnya. Adakah norma dan batasan yang masih terjaga sebagaimana budaya dan ajaran agama yang selama ini kita percaya.

Jika kita tilik lebih jauh, kelompok "SCBD" ini terdiri dari remaja yang berusia kisaran belasan tahun dan memiliki kondisi status sosial yang rendah serta putus sekolah. Sehingga ketika tawaran untuk merasakan kembali bangku pendidikan, di saat iming-iming kemandirian finansial yang menghampiri, tentu saja mereka lebih memilih untuk mandiri finansial daripada kembali ke bangku sekolah yang dulu pernah gagal dicapainya.

Kerasnya kehidupan yang menempa, juga keinginan untuk diakui identitasnya sebagaimana WHO mengidentifikasi masa remaja, merupakan suatu masa di mana individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan perubahan pada seksualitas hingga mencapai kematangan seksualitasnya. Mereka akan mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa dan terjadi peralihan dari ketergantungan sosial yang penuh kepada keadaan yang relatif menjadi lebih mandiri.

Ketidakmampuan dalam mengidentifikasi masa kanak-kanak mereka menuju masa dewasa, atau bisa dikatakan dalam proses pencarian jati diri menyebabkan mereka melakukan tindakan yang sulit dipertanggungjawabkan. Seringkali mereka menjustifikasi setiap perbuatannya benar dan sesuai dengan perkembangan zaman.

Adu gaya di ruang terbuka, bercumbu mesra dengan lawan jenis menjadi peristiwa sehari-hari yang kita temui di Citayam Fashion Week. Mereka berargumen di balik kata kebebasan berekspresi.

Lebih jauh, seringkali masyarakat kita menyalahkan dan mempermasalahkan masalah ini karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. Padahal bisa jadi pendidikan moral yang kita berikan tidak benar-benar sampai dan menyentuh hati mereka. Atau jangan-jangan kita lebih sering membincang masalah moral dan akhlak di forum-forum tertutup, tanpa benar-benar berinteraksi dengan generasi muda kita secara langsung.

Penguatan moral dan akhlak harus hadir merangkul remaja Citayam Fashion Week, menjadi pedoman bagi generasi muda Indonesia yang hari ini sudah akrab dengan perkembangan teknologi yang semakin mendunia. Penguatan moral harus hadir tidak hanya di institusi pendidikan sebagai mata pelajaran atau mata kuliah, ia harus hadir dan disajikan dengan konten kekinian dan dapat diakses oleh semua kalangan.

Kebebasan berekspresi juga berkreasi memang tidak seharusnya kita caci apalagi benci, sebaiknya diarahkan pada kebebasan yang bertanggung jawab dan bermoral. Jangan sampai fenomena Citayam Fashion Week yang sudah ditutup dan mulai merajalela di belahan Indonesia lainnya hadir sebagai bentuk kebebasan berekspresi yang tidak beradab dan jauh dari nilai luhur yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia. Kamu cantik, kamu ganteng, tapi kamu juga berkarakter, slebeeeewwww!!!!

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement