REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kurikulum Merdeka membuat standar pendidikan tiap daerah dan sekolah berbeda-beda. Sistem pendidikan harus berpihak kepada siswa berdasarkan kompetensinya masing-masing. Lantas bagaimana tolok ukur kompetensi lulusan dan apa standar yang digunakan?
Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (PSKP), Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek menjawab pertanyaan tersebut dengan mengeluarkan siniar kedua yang berjudul “Apa itu Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi?” dengan menghadirkan narasumber Ikhya Ulumuddin, koordinator Substansi Standar Pembelajaran PSKP; dan Diyan Nur Rakhmah, Analis Kebijakan Muda PSKP sebagai host.
Ikhya Ulumuddin mengungkakan bahwa perbedaan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dulu menggunakan Ujian Nasional dan raport, sedangkan SKL yang sekarang ditentukan oleh satuan pendidikan masing-masing. “Jadi, antara sekolah di Jakarta dan sekolah di luar Jakarta itu boleh berbeda. Kalau yang dulu itu penentuan kelulusan hanya UN. Disamaratakan di Papua, Aceh, Jakarta, dan sebagainya sama. Kalau sekarang ditentukan oleh satuan pendidikan, bahan acuannya yakni delapan kompetensi yang ada di SKL”, jelas Ikhya seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (5/8/2022).
Delapan kompotensi dalam SKL yakni beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, berkebinekaan global, bergotong royong, dan kreatif yang dirumuskan menjadi Profil Pelajar Pancasila.
Menurut PP No 57 Tahun 2021, Standar Kompetensi Lulusan merupakan kriteria minimal tentang kesatuan sikap, ketrampilan, dan pengetahauan yang menunjukan capaian kemampuan perserta didik dari hasil pembelajaran pada akhir jenjang pendidikan. “SKL dirumuskan berdasarkan tujuan pendidikan nasional, tingkat perkembangan peserta didik, kerangka kualifkasi nasional Indoneisa, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan Indonesia,” ujarnya.
Lebih lanjut Ikhya mengungkapkan bahwa tujuan dari SKL dalam Kurikulum Merdeka yaitu untuk tetap mempertahankan keragaman dari segi akademik, ekonomi dan sosial budaya. “SKL saat ini mengakomodir keragaman yang ada. Secara pribadi saya memandang SKL itu ibarat akan membangun rumah, dan SKL itu pondasinya. Jadi penentuan kuat atau tidaknya utamanya ada di SKL. Di dasarnya, pemenuhan utamanya. Untuk itu dasarnya itu harus kuat dan harus mengakomodir wilayah Indonesia yang beraneka ragam,” kata Ikhya.
Episode siniar (podcast) kedua ini juga membahas bagaimana implikasi standar pendidikan dan mitigasi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam menghadapi tantangan yang terjadi dilapangan agar tidak menghambat proses pembelajaran.