REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mendukung pasal yang mengatur cuti melahirkan selama enam bulan bagi para ibu, dalam Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). IDAI meyakini regulasi itu akan meningkatkan kesehatan bayi.
"Saya kira, ini ide bagus ada cuti sampai 6 bulan. Dengan begitu, para ibu bisa memberikan ASI (air susu ibu) eksklusif. Kita akan dukung," kata Ketua Umum IDAI Piprim Basarah Yanuarso dalam Seminar Media Dalam Rangka World Breastfeeding yang digelar IDAI secara daring, Sabtu (6/8/2022).
Menurut Piprim, apabila ibu bisa memberikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama sejak kelahiran, maka bayinya dapat terhindar dari stunting (kondisi gagal tumbuh pada anak balita). Pada akhirnya, angka stunting nasional bisa turun sesuai keinginan pemerintah.
Untuk diketahui, angka stunting nasional tahun 2021 adalah 24,4 persen. Secara sederhana dapat diartikan bahwa satu dari empat balita di Indonesia mengalami gangguan pertumbuhan fisik. Presiden Jokowi menargetkan angka stunting dapat turun menjadi 14 persen pada akhir masa jabatannya tahun 2024.
Piprim mengatakan, pihaknya akan memberikan dukungan atas regulasi cuti melahirkan enam bulan ini, atau bahkan bisa jadi memberikan rekomendasi. Sebelum itu, pihaknya akan menanti kajian dari Satuan Tugas Air Susu Ibu (ASI) IDAI terkait cuti untuk ibu ini.
Ketua Satgas ASI IDAI Naomi Esthernita F Dewanto mengatakan, cuti melahirkan memang salah satu cara ampuh dalam meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif kepada bayi selama enam bulan pertama usai kelahiran. Pasalnya, saat ini pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih rendah.
Berdasarkan data Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) tahun 2021, hanya 50 persen bayi di Indonesia yang mendapatkan ASI eksklusif enam bulan. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menargetkan angka 70 persen.
WHO telah menetapkan 7 agenda prioritas untuk meningkatkan pemberian ASI eksklusif ini. Salah satu poinnya adalah perlindungan menyusui untuk ibu bekerja sesuai rekomendasi Organisasi Buruh Internasional (ILO).
Dalam Konvensi ILO Nomor 183, disebutkan bahwa cuti hamil tidak boleh kurang dari 14 pekan. Sedangkan dalam konvensi ILO Nomor 191, disarankan agar cuti hamil setidaknya 18 minggu. "Saat ini hanya 11 persen negara yang mengikuti standar rekomendasi tersebut," ujar Naomi dalam kesempatan sama.