Rabu 10 Aug 2022 07:53 WIB

Hukum Islam, Negara, dan Peran Politisi

Tugas negarawan adalah menjaga agama dan mengatur perkara duniawi.

Tugas negarawan adalah menjaga agama dan mengatur perkara duniawi. Foto ilustrasi anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna DPR.
Foto: Prayogi/Republika.
Tugas negarawan adalah menjaga agama dan mengatur perkara duniawi. Foto ilustrasi anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna DPR.

Oleh : Nashih Nasrullah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Dinamika hukum Islam tak pernah lepas dari kondisi sosial, politik, dan budaya yang berkembang ketika itu, pun demikian dengan kekuasaan. Kekuasaan, dalam arti negara, sangat berkontribusi untuk implementasi hukum-hukum Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Manna'  al-Qaththan dalam Tarikh Tasyri' al-Islamy mengatakan, periodisasi penerapan hukum Islam melewati fase-fase yang kental dengan nuansa-nuansa sosial, politik, dan budaya berdinamika ketika itu. Implementasi hukum Islam memasuki puncaknya, dalam artian terlembagakan dan memasyarakat, ketika kekuasaan berada dalam genggaman umat Islam.

Hukum Islam terlaksana dengan baik di tiap lini kehidupan selama hampir 15 abad lamanya, sekalipun terkadang pasang surut, tetapi konstelasinya tidak berubah, kekuasaan memegang perang vital dalam pelaksanaannya.

Kekuasaan dan hukum Islam lantas saling berkolaborasi dan saling beriringan satu sama lain. Pemandangan semacam ini nyaris jamak diketahui di belahan dunia Islam. 

Namun, dalam konteks kekinian dan negara demokrasi, kekuasaan itu mengundang multitafsir. Haruskah negara adalah makna tunggal bagi definisi kekuasaan? Jika iya, definisi itu bisa jadi tidak akan menguntungkan bagi Muslim yang tinggal di negara dengan sistem pemerintahan yang sekuler, atau abu-abu alias tidak Islam ataupun juga tidak sekuler sekalipun seperti Indonesia.

Padahal, sejarah membuktikan bahwa kekuasaan dengan makna negara, dalam konteks Indonesia, bukan jaminan hukum Islam teradopsi dengan mulus. Di Era Orde Baru, contoh kasusnya ialah UU Perkawinan No 1 Tahun 1974. Perumusan hingga pemberlakuannya melalui proses yang cukup alot dari penguasa Orde Baru.   

Dalam kehidupan majemuk berbangsa dan bernegara, kekuasaan, bagi Max Weber, bukan sekadar negara. Kekuasaan adalah kesempatan (change probability) yang ada pada seseorang atau sejumlah orang untuk melaksanakan kemauannya sendiri dalam suatu tindak sosial meskipun mendapat tantangan dari orang lain yang terlibat dalam tindakan itu.

Salah satu bentuk kekuasaan itu berwujud pengaruh (influence) yang dilakukan dengan cara-cara persuasif untuk meyakinkan orang lain untuk mengikuti pandangannya. Pengaruh ini dapat dilakukan dengan memanipulasi pendapat publik melalui berbagai media, misalnya propaganda, pembetulan secara politis, sensor, dan represi.

Keran demokrasi saat ini justru membuka peluang besar bagi umat Islam untuk memperjuangkan hukum-hukum Islam, ke dalam hukum negara, atau setidaknya menjadi referensi dan acuan utama bagi perundang-undangan negara. Kanalnya, tak mesti kekuasaan dalam arti negara, tetapi bisa melalui kendaraan politik, pendekatan personal, sosialisasi, atau propaganda.

Jika makna kekuasaan menurut Abu al-Hasan al-Mawardi dalam karya monumentalnya al-Ahkam as-Sulthaniyah, adalah negara, tentu tidaklah salah, dan itu merupakan salah satu media agar hukum Islam bisa terokomodasi dengan baik. Akan tetapi, alternatif pemaknaan lain tentang kekuasaan, justru akan menunjukkan keragaman dan fleksibilitas ajaran Islam itu sendiri.

Bagi saya, hal yang terpenting dalam sejarah dan dinamika yang berkembang dalam realisasi UU Perkawinan 1974 bukan terletak pada perdebatan fikih. Argumentasi yang bersifat rigid itu memang perlu, tetapi ada yang lebih menarik dan tak kalah penting.

 

Pertama, peran signifikan dari para ulama. Kedua, tentu partisipasi aktif dari para politisi atau jika dipukul rata tentu adalah pemimpin-pemimpin Islam yang berada di pemerintahan, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.

 

Ini penting, lagi-lagi mengutip Aristoteles dalam Politic-nya, tiap orang pada hakikatnya adalah politisi dalam arti luas. Murid Plato tersebut berpandangan jika antara satu individu dan lainnya tidak akan lepas dari hubungan politik (a political relationship) untuk meraih tujuan hidupnya.

 

Kemunculan UU tersebut tidak terlepas dari peran aktif kedua elemen itu. Ulama menjalankan politik kebangsaan sedangkan para pemimpin seperti yang digariskan Al-Mawardi, mempunyai dua tugas pokok yaitu menjaga agama hirasat ad-din dan mengatur perkara duniawi (siyasat ad-dunya).

Dalam konteks ini pula, al-Mawardi kembali menjabarkan kedua tugas pokok itu ke dalam tujuh kewajiban utama. Ketujuh tugas itu seperti yang disebutkan dalam karya al-Mawardi berikutnya dengan judul Adab ad-Din wa ad-Dunya, yaitu pertama, menjaga agama dari penyelewengan. Kedua, melindungi umat dari musuh.

Ketiga, pengelolaan infrastruktur agar maslahat rakyat tercukupi. Keempat, pemberdayaan harta untuk kemaslahatan agama. Kelima, peradilan. Keenam, penegakan hukum dan pemberian sanksi, dan terakhir adalah memilih para pemimpin yang berintegritas.

Poin inilah yang semestinya digarisbawahi para perwakilan umat Islam yang berada di berbagai level pemerintahan. Dan, sudah semestinya pula aspirasi umat Islam diperhatikan dengan baik sesuai dengan cetak biru politik Islam tersebut. 

Sosok seperti KH Bisri Syansuri, Buya Hamka, dan KH Yusuf Hasyim, dan bersumbangsih besar dalam mewujudkan payung hukum perkawinan yang berlandaskan syariat. Membaca peran para tokoh itu-berdasarkan teori-teori politik di atas tentu menegaskan dua hal sekaligus bahwa ulama memegang peranan utama didukung dengan kekuatan politik.

Peluang umat Islam memang besar, tetapi tantangannya juga sebanding. Jelas UU tersebut adalah hasil kompromi terbaik pada masanya, tetapi bagi sebagian kalangan belum tentu demikian. Kanal-kanal demokrasi saat ini menyediakan ruang bagi siapa pun dengan ragam latar belakang pemikiran dan ideologi untuk kembali menggugat UU ini.

Maka, dalam konteks inilah konsistensi dan kredibilitas kedua unsur di atas dipertaruhkan. Indonesia adalah negara berketuhanan, tentu sendi-sendi agama menjadi fondasi pokok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itulah, Indonesia dengan mayoritas Muslimnya masih membutuhkan kehadiran para ulama yang membimbing dan membentengi umat dari segala hal yang bertentangan dengan syariat.

Pada saat yang sama, umat tak bisa lepas dari para pemimpin yang berintegritas dan peduli dengan persoalan umat dan keumatan. Bukan mereka yang justru terseret pada kasus hukum.   

 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement