REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Selama serangan terbaru Israel di Gaza yang menewaskan 44 orang, termasuk 15 anak-anak, para aktivis Palestina mengklaim raksasa media sosial telah terlibat dalam sensor digital. Ketika warga Palestina di Gaza berjuang menemukan perlindungan, para aktivis Palestina bergulat di ruang digital.
Mereka berjuang agar perusahaan media sosial tidak lagi membungkam di platform digital. Penasihat advokasi 7amleh, Pusat Arab untuk Kemajuan Media Sosial, Mona Shtaya, mengatakan ini bukan fenomena baru.
“Ini telah terjadi selama bertahun-tahun dan berkontribusi membungkam suara kami serta membatasi kami untuk mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kejahatan perang yang kami hadapi,” kata Shtaya.
Observatorium Palestina untuk Pelanggaran Hak Digital, proyek di 7amleh, didirikan untuk mendokumentasikan dan memberi perhatian pada pelanggaran hak digital yang dihadapi warga Palestina. Platform media sosial berperan penting dalam membentuk pandangan publik mengenai konflik Israel dan Palestina.
Belum lama ini, warganet Twitter membagikan bukti penyensoran oleh Instagram terkait gambar anak perempuan berusia lima tahun bernama Alaa Abdullah Riyad Qaddoum yang terbunuh selama serangan Israel di Gaza pada akhir pekan. Menurut Shtaya, campur tangan media sosial terhadap konflik yang terjadi membuat frustasi dan bukan hal yang bisa diterima.
Di sisi lain, aktivis mengecam Twitter karena dugaan penyensoran postingannya. "Saya akhirnya diizinkan untuk men-tweet setelah hampir sehari penuh @Twitter mengunci akun saya dengan klaim melanggar aturannya ketika yang saya lakukan hanya melaporkan langsung kondisi #Gaza diserang," tulis @Omar_Gaza di akun Twitter-nya.
Human Rights Watch pernah mengecam raksasa media sosial Meta karena Facebook dan Instagram memadamkan konten yang diposting oleh warga Palestina saat membahas pelanggaran HAM di Israel dan Palestina.