REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Sejumlah negara mulai mengembangkan perangkat militer yang menerapkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Agar penerapan AI dalam perangkat militer ini tak melanggar kode etik peperangan, maka sejumlah negara pun telah menyiapkan pedoman khusus yang memastikan bahwa perangkat perang mutakhir tersebut tetap mempertimbangkan hak asasi manusia (HAM).
Dikutip dari Technology Review beberapa waktu lalu, Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) telah meluncurkan pedoman "kecerdasan buatan yang bertanggung jawab" untuk pengembang AI. Selain itu, AS juga memiliki pedoman etika sendiri untuk penggunaan AI.
Sementara itu, NATO membatasi strategi AI dengan menetapkan pedoman etika sukarela untuk negara-negara anggotanya. Lewat semua pedoman ini, militer diminta untuk menggunakan AI dengan cara yang sah, bertanggung jawab, andal dan dapat dilacak, serta berupaya mengurangi bias yang tertanam dalam algoritma. Salah satu konsep utama dalam pedoman itu adalah bahwa manusia harus selalu memegang kendali atas sistem AI sehingga etika perang tetap terjaga.
Saat ini, beragam penerapan AI dalam perangkat peperangan masih dalam tahap eksperimen. Lewat penerapan AI, pasukan militer bisa dimudahkan dalam berbagai hal mulai dari menyaring resume hingga memproses data dari satelit atau mengenali pola dalam data untuk membantu tentara membuat keputusan lebih cepat di medan perang.
Selain itu, perangkat lunak pengenalan objek bisa berperan untuk membantu mengidentifikasi target. Sedangkan drone otonom dapat digunakan untuk pengawasan atau serangan di darat, udara, atau air, atau untuk membantu tentara mengirimkan pasokan logistik dengan lebih aman daripada yang mungkin dilakukan di darat.
Selain menunjang pertempuran sungguhan, teknologi mutakhir juga bisa berperan dalam sesi latihan bagi para tentara militer. Penerapan teknologi pun jadi sangat krusial karena pelatihan militer merupakan salah satu kontributor biaya terbesar bagi sebuah negara.
Oleh karena itu, pelatihan pun melibatkan simulator, augmented reality (AR), dan virtual reality (VR) agar sesi latihan bisa berjalan dengan lebih efisien dan tetap optimal. Beragam teknologi itu pun telah diterapakan selama beberapa tahun belakangan dalam pelatihan senjata, pelatihan perangkat, dan pelatihan penerbangan.
Kini, AS pun mulai meningkatkan sistem pelatihan dengan melibatkan teknologi metaverse. Dikutip dari Cyber Talks, immersive virtual environments yang disajikan oleh metaverse bisa memberikan pengalaman yang lebih komprehensif karena hadir lewat penggabungan augmented reality, artificial intelligence, dan video gim grafis.
Militer AS mengemas penerapan teknologi mutakhir itu lewat Metaverse-adjacent virtual reality programs. Program itu mencakup penerapan helm berteknologi tinggi untuk jet tempur F-35, Project BlueShark untuk membantu pelatihan mengemudikan kapal dan Project Avenger untuk melatih nakhoda angkatan laut.
Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA) AS menilai penerapan metaverse dilakukan untuk memadukan dunia fisik dan virtual. Teknologi ini pun diyakini mampu mampu menghadirkan evaluasi yang lebih akurat dari perangkat pelatihan yang digunakan sebelumnya.