REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menilai revisi Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI bertujuan untuk memperbaiki institusi TNI, bukan justru memunculkan kembali dwi fungsi TNI
Dia mengatakan, revisi UU TNI juga bertujuan untuk memperjelas tugas TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), dengan tujuannya untuk memperkuat pertahanan dan keamanan Indonesia.
"Wacana kembalinya dwi fungsi TNI bukan latarbelakang revisi UU TNI namun revisi tersebut sebagai upaya perbaikan TNI dan peningkatan pola koordinasi, pembagian tugas yang jelas antara TNI dan Polri," kata Sukamta, Jumat (12/8/2022).
Karena itu dia menegaskan bahwa Fraksi PKS menolak wacana penempatan tentara aktif di jabatan sipil (dwi fungsi TNI), yang muncul ketika revisi Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2022.
Dia menjelaskan, ada masalah yang akan timbul ketika TNI kembali lagi menjabat di jabatan sipil yaitu bisa mengembalikan dwi fungsi TNI zaman orde baru yang menimbulkan banyak masalah.
Pertama menurut dia, jabatan publik harus didasarkan pada kompetensi teknis ataupun keilmuan bukan bagi-bagi jabatan."Kedua, budaya demokrasi dan profesional dalam lembaga publik akan berubah menjadi militeristik karena tentara terbiasa dengan sistem komando akibatnya kritik atau saran dari masyarakat dan perbaikan terhambat. Ketiga, pola hubungan senior dengan junior menghambat akuntabilitas dan transparansi lembaga dan pejabat publik," ujarnya.
Sukamta menilai, jika tentara ingin masuk ke lembaga pemerintah maka harus mengundurkan diri atau sudah pensiun. Karena itu menurut dia, Tentara bisa mengikuti seleksi terbuka jabatan publik sehingga tidak ada konflik kepentingan dan benar-benar di uji kompetensinya bersaing dengan masyarakat sipil. "Dasarnya kompetensi bukan dengan bagi-bagi jabatan yang bisa merugikan publik," katanya.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI itu mengingatkan sejarah orde baru dan kejadian beberapa waktu lalu ketika Ombudsman RI sudah menyatakan bahwa penunjukan perwira TNI sebagai pejabat kepala daerah menyalahi UU TNI dan UU Aparatur Sipil Negara.
Selain itu menurut dia, wacana penempatan TNI di jabatan sipil melanggar TAP MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. "Dalam TAP MPR itu disebutkan peran TNI sebagai alat pertahanan untuk menjaga kesatuan dan kedaulatan negara Indonesia dari berbagai ancaman dari luar dan dalam negeri. Serta menjaga kesatuan wilayah dan keselamatan bangsa," katanya.