REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Teguh Imami, Magister Universitas Airlangga
Tempat kelahiran saya, di pesisir utara Lamongan, setiap datang bulan Agustus seperti sekarang ini selalu diperingati dengan meriah. Orang-orang desa yang kebanyakan bekerja sebagai nelayan, pada minggu pertama, sudah mulai memasang bendera merah putih di depan rumahnya.
Ditingkat RT, mereka bergotong royong memasang pernak pernik kemerdekaan, botol bekas minuman dicat merah putih dan dipasang di atas jalanan desa. Sekolah-sekolah mengadakan lomba gerak jalan. Ibu-ibu lomba memasak. Orang-orang dewasa sibuk mengadakan hiburan panjat pinang di pinggir pantai.
Mereka merangkai bulan Agustus dengan berbagai kegiatan, tanpa ada yang menyuruh atau memaksa. Meskipun paginya anak-anak pergi sekolah, ibu-ibu jualan ikan di pasar, dan bapak-bapak pergi melaut, namun siang hingga malamnya mereka memberikan waktunya untuk memperingati kemerdekaan. Bahkan, diantara mereka ada yang rela untuk mengeluarkan uang untuk iuran demi terselenggaranya berbagai kegiatan.
Gegap gempita memperingati kemerdekaan tersebut bukan hanya terjadi di desa saya, di desa-desa lain sekitar, atau bahkan desa di kota-kota lain, juga mengadakan hal serupa seperti di desa saya. Desa-desa tersebut memperingati kemerdekannya dengan caranya sendiri. Dengan semangat kecintaannya kepada bangsa Indonesia, mereka membuat ekspresi untuk memperingati kemerdekaan Indonesia.
Dalam konteks bernegara, mungkin cara yang dilakukan orang-orang desa untuk mencintai negara nilanya sangat kecil dibanding bukti cinta orang-orang kaya di kota yang menyumbang uang dan idenya untuk keberlangsungan Indonesia di masa depan. Namun jika melihat desa di lintas zaman, sejak dulu, orang-orang desa selalu mempertahanan Indonesia dengan berbagai cara. Adanya Indonesia hari ini salah satunya berkat tiang-tiang tangguh dari desa yang menyanggah Indonesia.