REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengatakan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) harus belajar dari kasus penolakan paspor Warga Negara Indonesia (WNI) yang ditolak di Jerman hanya karena mengenai pencetakan blanko spesimen tanda tangan.
"Pemerintah Indonesia khususnya imigrasi, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan kementerian lembaga lainnya untuk lebih memperhatikan kesetaraan atau aturan di negara lain terkait dengan aktivitas WNI di luar negeri," kata Sukamta di Jakarta, Senin (15/8/2022)
Menurut dia, masalah paspor Indonesia yang ditolak di Jerman itu terlihat sederhana hanya mengenai pencetakan blanko spesimen tanda tangan.
Namun dia menilai, akibatnya fatal ketika ada negara menolak atau menyatakan bahwa paspor tidak sesuai dengan aturan internasional sehingga WNI tidak bisa membuat visa masuk ke negara tersebut.
"Ini jadi pelajaran berharga untuk pemerintah. Aturan internasional ini yang benar-benar harus diperhatikan Indonesia baik untuk masalah paspor maupun hal lain yang berhubungan dengan dunia internasional," ujarnya.
Kedepannya menurut dia, isu penting lainnya mengenai kesetaraan aturan internasional yang akan muncul masalah serupa jika kita tidak mengantisipasi. Sukamta menilai salah satunya isu mengenai lembaga pelindungan data pribadi dalam Rancangan UU Pelindungan Data Pribadi. "Kesetaraan lembaga pelindungan data pribadi ini menjadi penting apakah setara dengan negara lain," katanya.
Dia menjelaskan, lembaga PDP akan menentukan level kesetaraan atau "adequacy" dari hukum PDP Indonesia dengan negara atau kawasan lain seperti kesetaraan yang diatur oleh GDPR-nya Eropa. Keseteraan itu menurut dia, akan berpengaruh terhadap kemudahan pelindungan, transfer data internasional.
Sukamta mengingatkan dunia global semakin tanpa sekat sehingga kesamaan, kesetaraan aturan antar negara atau aturan dunia internasional harus diperhatikan agar Indonesia tidak terkucil atau hanya menjadi negara pinggiran.