REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fikrul Hanif Sufyan, Periset, Pengajar, dan Pemerhati Sejarah.
Pasca kekalahannya pada Perang Dunia II, Pemerintah Dai Nippon berupaya untuk menutupi berita dibom atomnya Hiroshima dan Nagasaki. Berita kekalahan Jepang, diperoleh lewat jasa seorang pegawai kantor PTT di Bukittinggi dan Padang—yang telah menerima berita proklamasi dari kantor berita Domei, mereka segera menyebarluaskannya pada tokoh-tokoh Sumatra Barat (Kementerian Penerangan, 1953: 84).
Mengingat jauhnya jarak antara Sumatra Barat dengan Jakarta, tentu banyak orang menduga berita kemerdekaan itu baru sampai lebih dari dua minggu. Rupanya tidak. Berita kemerdekaan Indonesia itu diterima orang Minang bervariasi, mulai dari tanggal 17 Agustus sampai 20 Agustus 1945.
Sebaran pertama terjadi di Bukittinggi— diawali pegawai PTT bernama Ahmad Basya menangkap berita Proklamasi yang disiarkan kantor Domei Bandung (Haluan, 15 Agustus 1975). Lalu berita itu diketik Asri Aidid gelar St. Rajo Nan Sati sebanyak 10 rangkap, selanjutnya dibawa diam-diam keluar gedung dan ditempelkan di lokasi-lokasi penting di Bukittinggi malam itu juga.
Pada 18 Agustus 1945 selebaran itu, cepat terbaca oleh beberapa orang, dan segera tersebar melalui lisan. Selain selebaran, berita kawat diterima Adinegoro—yang menjabat Sekretaris Chuo Shangiin. Namun, ia masih ragu-ragu.
Sekelompok pemuda revolusioner kemudian meminta berita kawat tersebut, dan menyerahkannya kepada Moh. Safei tanggal 19 Agustus 1945. Sorenya, Moh. Syafei mengadakan rapat di rumah dr. Rasyidin, Padang Panjang.
Dalam pertemuan itu disepakati, untuk memperbanyak selebaran dan berita kawat itu dan disebarkan secara diam-diam ke berbagai kantor pemerintah, serta masyarakat. Pada tanggal 20 Agustus 1945 selebaran dan berita kawat diperbanyak di kantor Hokokai.