Kamis 18 Aug 2022 07:41 WIB

Stempel Hoaks dan 'Fake News' Milik Siapa?

Begitu mudahnya memberikan stempel atau melabeli sesuatu sebagai hoaks.

Ilustrasi labelisasi hoaks.
Foto: Bimas Islam Kemenag
Ilustrasi labelisasi hoaks.

Oleh : Ratna Puspita, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Pekan lalu, media sosial Twitter sempat ramai dengan unggahan-unggahan yang mengkritik penyelenggaraan ospek atau masa pengenalan mahasiswa baru di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta). BEM Untirta mengunggah pernyataan klarifikasi soal praktik perploncoan tersebut di media sosial, yang belakangan dihapus karena mendapat kritikan publik terkait penulisan yang tidak baku, penyebutan pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), hingga stempel hoaks pada sejumlah informasi atau berita yang beredar di media sosial.

Dari tiga hal tersebut, saya sempat tergelitik dengan stempel hoaks yang dibuat oleh BEM Untirta meski unggahannya sudah dihapus. Stempel hoaks yang dibuat oleh BEM Untirta ini mengingatkan saya pada tindakan kepolisian yang memberikan stempel hoaks pada informasi yang beredar dan menuai kritikan.

Pada 2017, Polri menyatakan bahwa lembaga penegak hukum itu akan memberikan stempel hoaks di media sosial atau situs online yang menyebarkan kabar bohong atau hoaks. Pada tahun lalu, stempel hoaks kepolisian tersebut menuai kritikan dari lembaga pers.

Pertama pada 5 Juli 2021, Polri memberikan stempel hoaks pada berita yang menyebutkan bahwa 63 pasien RSUP dr Sardjito meninggal dalam sehari akibat kekurangan oksigen. Kemudian pada Oktober 2021, polisi kembali memberikan stempel hoaks pada berita yang dimuat dengan proses jurnalisme. Berita tersebut mengenai dugaan pemerkosaan anak oleh ayahnya di Luwu Timur yang ditayangkan oleh Project Multatuli. Lalu, pada Februari 2022, polisi memberikan stempel hoaks tentang bentrok antara warga dan aparat di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Jawa Tengah.

Berdasarkan tulisan reporter yang dikirimkan ke kantong berita Republika, saya mendapati para pejabat dan elite politik juga melabeli sesuatu sebagai 'hoaks' dalam wawancara. Padahal dari isi pernyataannya, para pejabat dan elite tersebut sebenarnya sedang 'membantah'.

Bantahan tentu saja tidak lantas membuat cerita yang berbeda sebagai 'hoaks' atau 'fake news'. Bantahan berarti ada banyak sisi cerita dan perspektif dalam sebuah kejadian. Seperti kalimat yang populer: Selalu ada tiga sisi dalam setiap cerita, yakni sisi kamu, sisi saya, dan kebenaran, serta tidak ada yang berbohong.

Polri, pemerintah, elite politik, mahasiswa dan masyarakat perlu memahami bahwa stempel hoaks atau 'fake news' memiliki konsekwensi: informasi tersebut sudah diperiksa dan cara dan hasil pemeriksaannya harus sampaikan kepada publik. Jadi, stempel hoaks tidak berdiri sendiri, melainkan harus dibarengi dengan bagaimana caranya Anda melakukan pemeriksaan fakta, apa bukti yang Anda temukan, dan kesimpulan dari proses pemeriksaan fakta tersebut.

Di Indonesia, media arus utama memiliki tim yang melakukan proses pemeriksaan fakta. Ketika ada informasi beredar di media sosial, tim tersebut akan melakukan penelusuran baik melalui data terverifikasi yang beredar di internet maupun melalui kerja jurnalistik seperti wawancara dengan pihak-pihak yang dapat mengonformasi kebenaran informasi tersebut.

Jika data sudah terkumpul, anggota tim yang bertugas akan membuat analisis jenis konten tersebut: apakah fakta, apakah hoaks atau 'fake news', apakah disinformasi? Anggota tim yang bertugas akan melaporkannya dalam bentuk tulisan yang secara transparan menunjukkan metode atau cara yang dilakukan dalam pemeriksaan fakta.

Jadi, stempel hoaks tersebut bukan datang begitu saja hanya lantaran media arus utama atau anggota tim pemeriksa fakta memiliki kepentingan untuk membantah informasi. Stempel hoaks tersebut memiliki kepentingan untuk menyajikan informasi yang berkualitas ke masyarakat.

Di sisi lain, saya memahami bahwa komunitas jurnalis sudah beberapa kali melontarkan kritik. Namun, mungkin komunitas jurnalis juga perlu bersepakat soal siapa yang berhak untuk mengeluarkan stempel hoaks? Atau, mungkin komunitas jurnalis juga perlu bersepakat tentang hal-hal apa saja yang harus dipenuhi sehingga sebuah informasi dapat ditempeli stempel hoaks. Hal ini agar tidak ada lagi pihak yang dengan mudah memberikan stempel atau melabeli sesuatu sebagai hoaks.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement