REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Adaptasi edutech menjadi kebutuhan mutlak digitalisasi ribuan kampus swasta di Indonesia untuk meningkatkan mutu layanan bagi mahasiswa sekaligus modal bagi pengajar meningkatkan kualitas Tri Darma Perguruan Tinggi.
“Tanpa adaptasi edutech maka ribuan kampus swasta akan sulit meningkatkan mutu layanan mereka kepada mahasiswa di tengah tren digitalisasi. Pada sisi lain, pengajar juga akan terus terjebak dalam pekerjaan administrasi dan sulit meningkatkan kualitas Tri Darma Perguruan Tinggi,” tutur Ucu Komarudin, CEO PT Technomedia Interkom Cemerlang (Edufecta), Jumat (19/8)
Webinar bertajuk “Strategi Organisasi Pendidikan Sebagai Basis Menuju Center of Exellence” diselenggarakan Center for Entrepreneurship, Tourism, Information and Strategy (Centris) Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta.
Selain Ucu Komarudin, hadir Mayjen Totok Imam Santoso, Kepala Pusat Kesenjataan Artileri Medan (Pussenarmed) TNI AD dan Andriew Lim, Profesor Technopreneurship and Innovation in Hospitality di Hotelschool The Hague, Amsterdam, Belanda.
Edutech atau Education Technology dapat diartikan sebagai sistem pendidikan modern yang mengacu pada penggunaan peranti keras (hardware) dan peranti lunak (software). Platform ini dirancang untuk meningkatkan kegiatan pembelajaran di ruang kelas serta meningkatkan hasil pendidikan.
Dari hasil implementasinya di berbagai kampus, Ucu mengatakan, edutech mampu mengurai beragam permasalahan kurikulum serta menyederhanakan sistem administrasi pendidikan hanya dalam satu platform digital.
Ucu juga memaparkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengungkapkan fakta pada tahun ajaran 2021/2022 di Indonesia terdapat 8.956.184 mahasiswa yang aktif di 3.115 perguruan tinggi di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Dari tiga ribu lebih kampus tersebut, kata dia, lebih dari 90 persen di antaranya berstatus Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yakni 2.990 kampus, sedangkan 125 sisanya adalah Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Namun dari jumlah PTS yang dominan tersebut, hanya sedikit PTS yang terakreditasi A.
“Salah satu masalah yang kami dapati adalah ketidakmampuan PTS melakukan adaptasi digital. Sampai saat ini, digitalisasi masih sekadar dimaknai pengajaran menggunakan aplikasi komunikasi menggunakan audio video tetapi belum mengintegrasikan pada seluruh sistem perguruan tinggi,” tuturnya.
Padahal, kata Ucu, dengan mengintegrasikan seluruh perangkat keras dan perangkat lunak komputer perguruan tinggi menggunakan edutech, maka akan tercapai efisiensi manajemen data yang memudahkan perguruan tinggi, dosen dan mahasiswa
“Nah sekarang ini tantangannya adalah PTS di Indonesia yang jumlahnya ribuan dan harus terhubung dengan Kemendikbudristek masih menggunakan beragam aplikasi yang membuatnya tidak terintegrasi antara satu dengan yang lain,” paparnya.
Ucu menjelaskan dari kerjasama antara Edufecta dengan APTISI (Asosiasi Pendidikan Tinggi Swasta Indonesia) yang memiliki ribuan kampus swasta, telah diakui bahwa Edufecta berperan nyata dalam membantu percepatan digitalisasi tersebut.
Secara terpisah, Direktur Utama TECH Billy Andrian turut menjelaskan sejauh ini pihaknya telah memposisikan diri sebagai pemain big data enabler di Indonesia. Sebagai emiten berbasis teknologi digital, TECH tidak hanya fokus pada pengembangan bisnis digitalisasi pendidikan saja.
"Kami juga memiliki portofolio produk yang melayani business to business (B2B) seperti Renofax, KAWN, PingPoint, Lokamedia dan beberapa platform digital lainnya," kata Billy.
Terkait performa di lantai bursa, Billy mengungkapkan adanya tren positif dari saham TECH. Berdasarkan data pada Kamis (18/8), emiten yang merupakan bagian dari portofolio Indosterling Group yang dikendalikan William Henley telah memiliki kapitalisasi pasar senilai Rp8,4 triliun.
"Sejauh ini kami masih optimistis dengan laju pertumbuhan bisnis digital pada tahun ini, termasuk di dalamnya pengembangan bisnis Edufecta yang ke depannya akan merambah primary dan secondary institutions," ujar Billy.