REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Studi terbaru dari Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengungkap modus penipuan digital terjamak di Indonesia. Berdasarkan studi "Penipuan Digital di Indonesia: Modus, Medium, dan Rekomendasi" itu, penipuan berkedok hadiah merupakan modus yang paling sering digunakan.
"Dari 1.700 responden, riset menunjukkan 66,6 persen dari mereka (1.132 orang) pernah menjadi korban penipuan digital, dengan penipuan berkedok hadiah (36,9 persen) melalui jaringan seluler sebagai modus yang paling banyak memakan korban," kata Ketua Tim Peneliti CfDS UGM Dr Novi Kurnia dalam seminar web, Rabu (24/8/2022).
Novi mengungkap ada 15 modus penipuan digital yang terdata. Selain penipuan berkedok hadiah (91,2 persen), ada pinjaman online ilegal (74,8 persen), pengiriman tautan yang berisi malware/virus (65,2 persen), hingga penipuan berkedok krisis keluarga (59,8 persen).
"Pesan penipuan berkedok hadiah cenderung disampaikan secara massal," kata Novi.
Menurut Novi, rendahnya kemampuan ekonomi calon korban menjadi celah penipu untuk melancarkan aksinya. Ia mengingatkan modus pesan penipuan digital ini dapat terus berkembang.
Lebih lanjut, Novi mengatakan dari studi tersebut, terdapat setidaknya delapan medium penipuan digital. Tiap medium memiliki karakter jenis pesan penipuan yang berbeda.
Medium-medium tersebut termasuk jaringan seluler seperti SMS/telepon (64,1 persen), media sosial (12,3 persen), aplikasi chat (9,1 persen), dan situs web (8,9 persen), surel (3,8 persen), lokapasar (0,8 persen), game (0,5 persen), dan dompet elektronik (0,4 persen). Di sisi lain, lebih dari separuh responden (50,8 persen) yang menjadi korban penipuan menyatakan bahwa mereka tidak mengalami kerugian.
"Alasan korban menyatakan hal tersebut adalah mereka telah mengikhlaskan peristiwa itu sebagai bagian dari cobaan atau perjalanan hidup," kata Novi.
Di samping itu, sebagian responden juga melihat kerugian dari aspek finansial saja. Selain kerugian uang (15,2 persen), responden juga mengalami kerugian waktu (12 persen), perasaan seperti malu, sedih, kecewa, takut dan trauma (8,4 persen), kebocoran data pribadi (8,3 persen), kerugian barang (4,2 persen), lainnya (1,2 persen), dan kerugian fisik (0,3 persen).
Bicara soal laporan, 48,3 persen korban memilih untuk menceritakan kepada keluarga atau teman. Sementara ada yang tidak melakukan apa-apa (37,9 persen), menceritakan kepada warganet (5,3 persen), melaporkan pada media sosial atau platform digital lainnya (5 persen), dan melaporkan kepada kepolisian (1,8 persen).
"Seluruh pemangku kepentingan diharapkan dapat melakukan kolaborasi dan sinergi untuk menjawab harapan dan kebutuhan masyarakat agar terhindar dari penipuan digital," ujar Novi.