Oleh : Ilham Tirta, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Seorang perwira negara duduk tenang di kursi dakwaan di penghujung persidangan, lengkap dengan seragam dan pangkatnya. Ia didakwa dalam pembunuhan brutal terhadap seseorang yang ia yakini telah melecehkan istri tercinta, meskipun polisi tak menemukan jejak pemerkosaan itu. Korban yang malang, tewas mengenaskan setelah lima butir peluru dari moncong pistol sang aparat, menembus tubuhnya. Namun, para juri secara dramatis menyatakan pembunuh kejam itu tidak bersalah, dan sang aparat pun dibebaskan.
Peristiwa klasik yang terekam dalam novel seorang Hakim Agung, Robert Traver; Anatomy of a Murder (1958) itu menggelitik kita, khususnya penulis, saat dihadapkan dengan kasus Irjen Ferdy Sambo yang hangat saat ini. Bagaimana tidak, mantan Kadiv Propam Polri bersama istrinya, Putri Candrawathi, konsisten, setidaknya sampai saat ini, menyatakan sang korban, Brigadir J, telah melecehkan Putri. Sambo menguatkan alasan pembunuhan karena emosi mengetahui seorang ajudannya itu melecehkan harkat dan martabat keluarganya.
Posisi Letnan Frederick Manion dalam Anatomy of a Murder dan Irjen Sambo dalam pembunuhan Brigadir J sekilas mirip. Begitu juga dengan Laura Manion dan Putri Sambo. Bedanya, sang letnan tidak menyuruh anak buahnya membunuh pelaku, juga tidak memiliki pasukan yang dikerahkan untuk mengelabui para penyidik, begitu juga dosa masa lalu, yang bisa saja mengidikasikan ia sebagai aparat merangkap penjahat.
Baca juga : Kejakgung Sampaikan Perkembangan Berkas Irjen Ferdy Sambo Senin Siang
Untuk tidak mendahului proses hukum, Irjen Sambo kini terkekang oleh setidaknya 3 peristiwa lain yang berkasus. Rekayasa kasus pasca pembunuhan Brigadir J, perbekingan kasus 303 yang 'bocor' ke publik, dan KM 50 pembunuhan laskar FPI. Ketiganya masih dalam proses hukum.
Lalu, apa yang membuat letnan pembunuh itu bebas dari dakwaannya? Gila sementara.!
Gila sementara ini disebut bahasa kedokteran, di mana seseorang dikuasai oleh hasrat yang tak tertahankan untuk melakukan sesuatu, termasuk pelanggaran hukum, setelah mengalami peristiwa tertentu. Dalam kasus Anatomy of a Murder, letnan yang mengalami gila sementara akan tetap menyerang targetnya, tanpa menyadari segala risiko di depan; dia atau korban yang terbunuh. Begitu juga terkait pertanggungjawaban hukumnya. Persoalannya, hukum di Amerika Serikat, walaupun penerapannya jarang sekali, menyatakan seseorang yang melakukan kejahatan karena hasrat yang tak tertahankan dapat terbebas dari hukuman.
Faktor kunci dalam Anatomy of a Murder adalah motif, benarkan letnan itu mengalami peristiwa pemicu, yaitu pemerkosaan terhadap Laura sang istri. Faktanya, polisi tidak menemukan bukti apa pun yang menandakan Laura mengalami pemerkosaan, baik pada fisiknya, maupun pada jasad korban. Apalagi, tidak ada saksi dalam peristiwa itu. Dan secara mengejutkan, persidangan mampu membuktikan adanya pelecehan seksual itu.
Sementara Sambo, konsistensinya dipertanyakan. Setidaknya, Sambo bersama para polisi yang terlibat telah kedapatan merekayasa kasus itu sedemikian rupa dengan motif Pelecehan Seksual terhadap Putri. Dalam kronologi yang terbongkar sebagai kebohongan itu, tidak hanya soal pelecehan seksual, tetapi juga ada pemaksaan dan kekerasan fisik. Kronologi yang dibuat buat itu mirip juga dengan klaim Laura dalam Anatomy of a Murder.
Baca juga : Kapolri Tegaskan Sambo Harus Jalani Sidang Etik, Pengunduran Diri Ditolak
Setelah semuanya terbongkar, Irjen Sambo dan Putri tetap mempertahankan motif pelecehan seksual itu. Sementara penyidik belum juga mengungkap motif sebenarnya. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ketika menjawab Komisi III pada Rabu (24/8/2022) juga mengaku belum bisa memastikan motif tersebut. Ia hanya menyebut antara pelecehan seksual dan perselingkuhan. Nah, pelecehan seksual masuk lagi. Bahkan saat penetapan tersangka terhadap Irjen Sambo, Polri menyatakan soal motif pembuhan akan terungkap di pengadilan.
Penulis mahfum dengan ruwetnya penentuan motif dalam kasus ini, karena itu akan menandakan 'sesuatu'. Bukan, ini bukan terkait Anatomy of a Murder, penulis yakin itu jauh sekali. Sama yakinnya dengan motif Sambo yang akan terungkap dalam waktu dekat dekat ini. Setidaknya sebelum pengadilan digelar.
Ada tiga tersangka lain dalam kurungan Polri yang bisa membantu mengungkap motif tersebut. Ketiganya melekat bersama Brigadir J dan Putri Candrawathi dalam 2x24 jam sebelum pembunuhan pada Jumat, 8 Juli 2022 itu. Bisa jadi, pengakuan tersangka masih saling bertentangan, sehingga motif sebenarnya menjadi buron, antara pelecehan atau perselingkuhan. Mungkin itu kenapa kelimanya harus duduk bersama dalam konfrontir penyidik pada Rabu, 31 Agustus, nanti.
Polri harus memastikan ketiadaan konektivitas kelima tersangka sebelum majelis konfrontir. Hanya saja, Polri harus benar benar seperti klaimnya, transparan dan profesional sampai kasus ini tuntas.
Baca juga : Polri Tetap pada Opsi Pecat Irjen Sambo
Penulis ingin menggarisbawahi, tanpa menyinggung Anatomy of a Murder pun, hukum di Indonesia sebenarnya bisa menunjukkan hal hal lain yang mengejutkan. Kasus KM 50 misalnya. Hakim bisa membebaskan kedua terdakwa dengan alasan tindakan yang dapat dimaafkan karena membela diri. Padahal, keduanya diputuskan bersalah. Padahal diketahui, keempat korban terbunuh setelah ditangkap. Benar, kedua terdakwa dibebaskan bukan karena gila sementara.
+ Sambo dan KM 50
Berbeda dengan pembunuhan Brigadir J, KM 50 minim pengujian fakta. Jauh dari transparansi, klaim hanya datang dari pihak kepolisian. Para terdakwa pun tidak dibebastugaskan dari kedinasan Polri hingga mereka diputuskan bebas. Hal itu membuat tingkat kepercayaan terhadap pengungkapan kasus pelanggaran HAM itu telah menciut sejak awal.
Rekayasa pembunuhan Brigadir J oleh Kadiv Propam Polri, membuat publik kembali mempertanyakan klaim-klaim KM 50. Persoalannya, KM 50 juga melibatkan Kadiv Propam yang sama, Irjen Ferdy Sambo. Korban kedua peristiwa itu, juga tidak memiliki saksi pembanding. Karena itu, beruntunglah karena Bharada E sekarang mau menjadi justice collaborator. Semoga.
Dalam penyelidikan kasus KM 50, Irjen Sambo turut menerjunkan 30 personel Propam untuk memeriksa anggota kepolisian yang terlibat mulai dari pengejaran sampai pembunuhan Laskar FPI. Hasilnya, tak ditemukan kesalahan apapun yang dilakukan para anggota Polda Metro Jaya tersebut. Hasil ini yang kini dipertanyakan oleh publik.
Baca juga : Pakar Hukum: Tindakan Irjen Sambo Keji, Pemecatan Sudah Tepat
Keterkaitan KM 50 dengan Irjen Sambo juga terindikasi dari sikap Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Terungkap, berkas kasasi perkara unlawfull killing itu baru dilimpahkan ke MA 10 hari setelah Sambo menjadi tersangka. Padahal, JPU telah mengajukannya sejak Maret lalu.
Menkopolhukum, Mahfud MD yang hadir sebagai Ketua Kompolnas dalam rapat dengan Komisi III DPR pada Selasa, 23 Agustus, ikut diuji oleh anggota DPR. Namun, Mahfud mengaku telah memberikan rekomendasi soal kasus KM 50 tersebut. Ia tak mau disalahkan soal rekomendasinya ditindaklanjuti atau tidak oleh Polri. Bahkan, ia mempersilahkan Kompolnas dibubarkan jika dinilai tidak bekerja. Begitu mirisnya kasus pembantaian 6 anak manusia itu.
Sehari usai Mahfud, Kapolri Sigit di depan komisi yang sama mengaku akan mengusut kasus itu jika ditemukan novum baru. Saat ini, pihaknya masih menunggu kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas pembebasan kedua terdakwa. Selain novum baru, hasil kasasi di MA itu memang menentukan langkah Polri selanjutnya. Bisa saja hakim kasasi akan meminta penyidikan kasus itu dibuka kembali.
Langkah Kapolri Sigit sejauh ini dapat menenangkan di tengah keriuhan publik yang meminta kasus-kasus tersebut diungkap tuntas. Beban kasus KM 50 sebenarnya tidak pernah kalah dengan kasus Brigadir J. Setidaknya, penuntasan kasus itu akan membuktikan keseriusan Polri dalam memperbaiki internalnya. Semoga.