Oleh : Andri Saubani, Redaktur Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Sidang Komisi Etik Profesi Polri (KEPP) yang digelar selama hampir 17 jam pada Kamis (25/8) lalu berujung pada keputusan pemecatan Inspektur Jenderal (Irjen) Ferdy Sambo sebagai anggota Polri. Putusan pemecatan itu, imbas dari vonis bersalah atas pelanggaran etik yang dilakukan Sambo menyusul perannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J).
Sidang KEPP terhadap Sambo sehari-semalam itu menghadirkan 15 saksi. Para saksi tersebut, adalah para personel Polri, yang juga terlibat dalam dugaan tindak pidana obstruction of justice atau penghalang-halangan penyidikan kasus pembunuhan Brigadir J. Sambo, dalam kasus pembunuhan itu, sudah berstatus tersangka, Selasa (9/8). Tiga tersangka lain dalam kasus pembunuhan tersebut, yakni Bharada Richard Eliezer (RE), Bripka Ricky Rizal (RR), dan Kuwat Maruf (KM), Putri Candrawathi (PC), istri Sambo.
Brigadir J, tewas dengan lima luka tembak, di bagian tubuh, dan kepala. Hasil penyidikan Tim Gabungan Khusus, dan Bareskrim Polri menyebutkan Brigadir J, tewas dibunuh dengan tembakan senjata api yang dilakukan oleh Bharada RE di rumah dinas Sambo, di Kompleks Polri Duren Tiga 46 di Jaksel, pada Jumat (8/7). Pembunuhan Brigadir J tersebut dilakukan atas perintah dari Sambo. Barigadir J, adalah ajudan Sambo saat menjadi Kadiv Propam.
Dari penyidikan terungkap, Sambo, memerintahkan ajudan lainnya, Bharada RE menembak Brigadir J. Penembakan itu menggunakan senjata dinas milik Bripka RR. Kelima tersangka termasuk Sambo dijerat dengan Pasal 340 KUH Pidana, subsider Pasal 338 KUH Pidana, juncto Pasal 55, dan Pasal 56 KUH Pidana dengan ancaman hukuman mati, atau penjara seumur hidup, atau minimal 20 tahun penjara.
Atas putusan pemecatan terhadap dirinya, Ferdy Sambo langsung menyatakan tidak terima dengan menyatakan banding. Meskipun, ia mengakui dan menyesali semua perbuatan yang dituduhkan sidang KEPP terhadapnya.
Dalam permohonan bandingnya, Sambo menyampaikan surat permohonan maaf atas perbuatannya. Permohonan maaf tersebut, ia tuliskan khusus untuk institusi dan para senior di Polri.
Surat pemohonan maaf ini telah beredar viral di media sosial sebelum sidang KEPP. Surat itu terkonfirmasi valid saat surat itu disampaikan Sambo bersamaan dengan permohonan bandingnya atas putusan sidang KEPP.
“Dengan niat yang murni, saya ingin menyampaikan rasa penyesalan dan permohonan maaf yang mendalam, atas dampak yang muncul secara langsung pada jabatan yang senior dan rekan-rekan jalankan dalam institusi Polri, atas perbuatan yang telah saya lakukan. Saya juga siap menerima tanggung jawab dan menanggung seluruh akibat hukum yang dilimpahkan kepada senior dan rekan-rekan yang terdampak.”
Demikianlah penggalan kalimat dalam surat permohonan Sambo. Di ujung bawah surat juga tertera tanda tangan Sambo di atas materai.
Jika dicermati dari isi surat permohonan maaf Sambo itu, menjadi kontradiktif dengan upaya ‘perlawanannya’ terhadap putusan sidang KEPP yang memecat dirinya dari Polri. Jika memang Sambo legawa, menerima dan mengakui semua perbuatan tercelanya terkait kematian Brigadir J, mengapa dia kemudian memutuskan banding? Apalagi, ada bagian kalimat dalam suratnya yang menyebutkan, bahwa dia siap bertanggung jawab dan menanggung seluruh akibat hukum yang dilimpahkan kepada senior dan rekan-rekan sejawatnya yang terdampak.
Seiring viralnya surat Sambo, sempat beredar teori dari beberapa pakar hukum yang juga senada dengan pengacara keluarga Brigadir J. Intinya, surat permohonan maaf yang ditulis Sambo hanyalah ‘akal-akalan’ agar, meski dia terjerat hukum di kasus pembunuhan Brigadir J, ke depannya Sambo akan tetap mendapatkan pensiun karena statusnya adalah mundur dari Polri bukan dipecat.
Terlepas benar-tidaknya teori ‘akal-akalan’ Sambo di atas, saat ini publik menunggu respons Mabes Polri atas upaya banding dari Sambo. Apakah, Polri akan konsisten atas putusan pemecatannya terhadap Sambo? Atau menerima banding sebagai upaya hukum terakhir yang akan menentukan masa depan Sambo. Kita tunggu saja.