Oleh : Indira Rezkisari*
REPUBLIKA.CO.ID, Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di Tanah Air menjadi topik yang meresahkan. Bagaimana tidak, kenaikan harga BBM hingga 35 persen tersebut dipastikan akan berefek pada kenaikan harga barang-barang dan jasa lain.
Tapi kenaikan harga diprediksi baru akan terjadi sepekan setelah pengumuman harga BBM. Jadi, sekarang setidaknya, kita masih bisa bernapas dulu sebelum terkena himpitan baru dari naiknya harga-harga.
Kenaikan BBM ini disebut harus terjadi karena pemerintah tidak bisa menanggung subsidi yang lebih besar lagi. Upaya kenaikan harga BBM diharap akan menekan subsidi hingga ratusan triliun rupiah. Jadi meskipun harga minyak dunia saat ini sedang turun, tapi subsidi yang dari sebelumnya sudah diberikan pemerintah itu (dari sebelum harga minyak dunia turun) tidak cukup untuk menahan agar anggaran subsidi tidak jebol.
Oke, paham, ya. Lalu saya juga mencermati strategi pemerintah ke depan terkait upaya BBM subsidi ini. Dari yang saya baca-baca, pemerintah berstrategi mengalihkan penggunakan kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik. Pak Menko Luhut sebelumnya juga sudah pernah mengatakan, targetnya nih dua juta mobil listrik akan mengaspal di jalanan-jalanan Indonesia pada 2030.
Lalu saya pun bertanya, ke mana strategi pengurangan BBM dengan kebijakan transportasi publik yang merata? Bukankah harusnya transportasi publik yang mumpuni bisa jadi salah satu solusi mengurangi penggunaan BBM, ya?
Kalau Anda warga Jakarta, ya Anda termasuk golongan orang-orang paling beruntung di Indonesia. Mengapa? Karena transportasi publiknya dipikirkan betul. Menghemat uang dan BBM dengan menggunakan transportasi publik mungkin sudah bisa terjadi. Tapi masalahnya orang yang bekerja di Jakarta itu tidak semuanya juga tinggal di situ.
Ada banyak warga pinggiran Jakarta atau Jakarta dan sekitarnya yang tidak terlayani kendaraan umum yang mumpuni seperti di Ibu Kota Negara. Nah, kaum-kaum tersebut lalu beralih memilih naik motor atau mobil pribadi. Alasannya ya mudah saja, mau naik busway, angkot, tidak ada barangnya. Atau kalau ada tidak efisien sama sekali. Ibaratnya naik transportasi publik itu pilihan paling terakhir karena terpaksa.
Di sinilah konsumsi BBM tak bisa dihindari. Satu orang naik satu kendaraan pribadinya masing-masing.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno dari Masyarakat Transportasi Indonesia mengatakan kenaikan harga BBM bersubsidi seharusnya menjadi peluang untuk membenahi angkutan umum. Dalam catatannya, Djoko mengutip data Kementerian ESDM 2012, konsumsi BBM bersubsidi paling banyak dinimati mobil 53 persen, sepeda motor 40 persen, truk 4 persen, dan angkutan umum 3 persen.
Menjadi masuk akal, lanjutnya, jika paradigma yang berkembang ialah dalam 10 tahun ke depan kendaraan pribadi (mobil dan sepeda motor) akan terus bertambah. Di sisi lain, angkutan umum, tanpa kebijakan yang berpihak dan komprehensif, malah kian mendekati kepunahan.
Sebaiknya, masih menurut dia, pemerintah juga fokus menata dan mengembangkan angkutan umum penumpang. Tanpa menaikkan harga BBM bersubsidi, penyaluran kepada operator angkutan umum amat dimungkinkan.
Pemerintah, kata dia, bahkan perlu memberikan subsidi untuk angkutan umum, baik angkutan penumpang maupun barang yang berbadan hukum. Subsidi angkutan barang diberikan untuk meningkatkan kesejahteraan pengemudi yang selama ini kerap dilirik sebelah mata padahal pengemudi angkutan barang menjadi ujung tombak kelancaran arus barang. Terkait subsidi pula, ujar Djoko, pemerintah hendaknya lebih memperhatikan subsidi bagi pengembangan program Buy The Service (BTS) Kementerian Perhubungan yang saat ini sudah beroperasi di 11 provinsi.
Saya kutip pendapat pakar lain, ya. Pengamat ekonomi dari Universitas Jember Adhitya Wardhono PhD mengatakan, BBM bersubsidi menyumbang lebih dari 80 persen pendapatan negara. "Solusi yang mungkin bisa dilakukan adalah meningkatkan kualitas maupun kuantitas layanan transportasi publik dan mematok harga yang tidak terlalu mahal," katanya.
Baca juga : PDIP Nilai Anies tak Etis Ganti Direksi Transjakarta Jelang Lengser
Catat, transportasi publik. Menurutnya hal itu juga bisa menjadi cara untuk menurunkan emisi karbon serta mengubah konsumsi BBM yang sangat tinggi.
Ia mengatakan alasan dasar pemerintah menaikkan harga BBM adalah demi pemenuhan prinsip keadilan, persamaan kesempatan dan inovasi, konversi subsidi menjadi peningkatan pelayanan publik, bantuan sosial dan menghentikan pembengkakan subsidi BBM yang salah sasaran. "Dalam jangka panjang, kenaikan harga BBM mungkin akan merangsang inovasi dan memaksa transisi untuk beralih pada energi alternatif yang lebih murah," tuturnya.
Pembenahan atau pembangunan transportasi publik yang menyeluruh adalah bentuk dari keadilan subsidi BBM. Artinya pemerintah harus memikirkan strategi pengadaan angkutan umum yang layak dan terjangkau di seluruh daerah.
Tanpa pendekatan berbasis penggunaan transportasi publik Indonesia akan terus terjebak dalam pusaran subsidi BBM. Kendaraan listrik tentu bisa jadi salah satu solusi, tapi coba dilihat mana yang lebih cepat tercapai dan menjangkau lebih banyak orang. Menyediakan transportasi publik yang mumpuni atau mengejar target menggantikan kendaraan berbahan bakar minyak ke listrik?
Baca juga : Partai Ummat Tolak Keras Kenaikan Harga BBM
*Penulis adalah jurnalis Republika