REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VII DPR RI Nurhasan Zaidi menilai kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dipastikan memicu tingginya kenaikan inflasi dan angka kemiskinan di Indonesia. Karena itu ia meminta kerja cepat pemerintah mencegah cepatnya harga barang naik dan bertambahnya angka kemiskinan akibat naiknya BBM ini.
Nurhasan menilai saat ini rakyat menghadapi kondisi yang ironi, setelah bangkit dari pandemi namun dihadapkan dengan kenaikan BBM. Sementara Presiden Jokowi sebelumnya sudah berulang kali berjanji akan menjaga agar harga BBM, tidak akan naik hingga akhir tahun ini.
“Kita punya catatan bahwa paling tidak tujuh kali BBM naik di masa pemerintah saat ini. Pahitnya, kenaikan ini saat masyarakat baru akan bangkit dari imbas pandemi. Bahkan, ancaman inflasi kini kenaikan BBM pun sudah terjadi,” ujar Nurhasan Senin (5/9/2022).
Ia mengaku Komisi VII berulang kali memberikan pemahaman kepada pemerintah, baik di ruang sidang maupun diskusi terbatas, terkait kenaikan harga BBM tersebut. Tetapi, lanjut Nurhasan, pemerintah seperti kehilangan arah prioritas pembangunan dan keberpihakannya kepada rakyat. “Ini catatan kelam kabinet di akhir masa jabatannya,” ujar politikus PKS tersebut.
Meskipun demikian, ia memahami bahwa saat ini beban subsidi dan kompensasi energi terlampau menjadi beban. Namun, ia menilai masih banyak alternatif solusi yang dapat diambil menjawab hal tersebut. Sebab, kenaikan BBM hingga 30 persen ini akan jadi penyebab utama naiknya harga komoditas lainnya.
“Kenaikan ini akan membuat masyarakat merana. Untuk itu jelas sikap kita, tolak kenaikan harga BBM, terutama yang bersubsidi,” ujarnya.
Diketahui, pemerintah telah mengeluarkan keputusan resmi yang telah resmi menaikkan harga BBM bersubsidi, yaitu Pertalite menjadi Rp 10 ribu dan Solar menjadi Rp 6.800 per Sabtu (9/3/2022). Pemerintah beralasan kenaikan harga tersebut terkait dengan peningkatan subsidi dari APBN, yaitu mengalihkan subsidi sehingga kedua jenis BBM tersebut mengalami penyesuaian.