Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Kita memang tidak bisa mengatakan penangkapan rektor Universitas Lampung (Unila) sebagai representasi penerimaan jalur mandiri secara umum. Tetapi, siapa pun jangan juga berkilah dengan bantahan klasik bahwa itu dilakukan oknum. Itu narasi klasik yang membuat kami jadi semakin tidak percaya dengan sistem yang ada.
Suka atau tidak, penangkapan rektor Unila kian memperkuat asumsi sebagian besar masyarakat terhadap pola rekrutmen mahasiswa di jalur itu. Sudah rahasia umum jika jalur mandiri itu adalah ‘jalur mahal’. Saat ini, semua menjadi seolah terkonfirmasi dengan peristiwa tersebut. Ada biaya tidak kecil yang harus dipenuhi. Meski ini sebenarnya telah dibantah Kemendikbudristek. Tidak benar begitu, kata mereka.
Lepas dari sikap difensif Kemendikbud, kita semua sepakat ada yang perlu dievaluasi. Penangkapan rektor Unila oleh KPK harus menjadi momentum perbaikan penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri (PTN), khususnya jalur mandiri. Bagaimana pun, penangkapan itu berarti ada celah potensi korupsi pada pola rekrutmen di jalur itu.
KPK secara meyakinkan mengeluarkan rekomendasi perbaikan sistem rekrutmen jalur mandiri. Lembaga antikorupsi itu meminta Kemendikbud menyusun petunjuk teknis (juknis) yang mengatur ketentuan terkait penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri dengan mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Jelas KPK ingin menyatakan ada ruang gelap di situ. Ruang gelap ini lah yang musti dibuat terang.
Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Karyoto, pekan lalu pascapenangkapan rektor Unila secara keras mengirim pesan. “Mudah-mudahan saja Kemendikbudristek juga betul-betul merasakan (penangkapan rektor Unila) ini sebagai sebuah pukulan yang sangat mencederai. Sehingga dari internal mereka sendiri akan berupaya bagaimana membuat sistem rekrutmen yang bisa bersih (dari potensi korupsi).”
Pesan itu tegas dan secara eksplisit ditujukan untuk Kemendikbudristek. Tak berhenti di situ, KPK telah memberikan rekomendasi secara spesifik. Di antaranya mengharuskan informasi mengenai penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri atau nonreguler harus lebih transparan dengan memastikan ketersediaan informasi tentang rencana jumlah mahasiswa yang akan diterima.
PTN juga perlu menyatakan jelas indikator kuantitatif yang akan digunakan untuk menentukan calon mahasiswa yang akan diterima. Metode dan alur seleksi calon mahasiswa yang akan digunakan perlu dinyatakan secara eksplisit. Penggunaan nilai minimum (passing grade), nilai terbaik sesuai kuota, atau kombinasi keduanya, dan bahkan metode lain, harus diinformasikan ke publik.
KPK juga telah mendalaminya ke tiga universitas negeri yang termasuk dalam Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) sebagai sampel. KPK menemukan lemahnya tata kelola dalam penerimaan mahasiswa jalur mandiri disebabkan tidak ada pengaturan dari Kemendikbudristek. Tidak adanya aturan teknis tersebut membuat pelaksanaannya sangat bergantung pada kebijakan masing-masing perguruan tinggi. Di sinilah potensi korupsi tersebut teridentifikasi.
Keanehan lain yang perlu dikritisi adalah soal kuota. Kita tahu penerimaan mahasiswa baru di PTN dibagi melalui tiga jalur. Secara urut, tahap pertama adalah Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), yang dulu disebut Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Kemudian, Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) atau tes tulis. Calon mahasiswa yang tidak terpilih di kedua kesempatan itu bisa mengikuti jalur mandiri.
Sejak 2020, jalur SNMPTN ditentukan minimal 20 persen dari total mahasiswa yang diterima di PTN. Sedangkan SBMPTN minimal 30 persen. Untuk jalur mandiri maksimal 50 persen. Ini khusus untuk kampus berstasus PTN-BH. Sementara yang belum berstatus PTN-BH diberi kuota maksimal 30 persen. Unila bukan termasuk PTN-BH.
Sedangkan pada penerimaan mahasiswa di tahun sebelumnya atau 2019, jalur mandiri dipatok maksimal 30 persen, SNMPTN 30 persen, dan SBMPTN 40 persen. Artinya, ada penambahan 20 persen untuk jalur mandiri, dan pengurangan masing-masing 10 persen di jalur SNMPTN dan SBMPTN.
Pertanyaannya, apa urgensi menambah kuota jalur mandiri, dan di saat yang sama justru mengurangi kuota SNMPTN dan SBMPTN? Jika semua seleksi didasarkan pada penilaian aspek akademik, mengapa seleksi bersama yang menjadi arena para calon mahasiswa beradu kemampuan akademik justru dikurangi kuotanya?
Logikanya, jika kuota mahasiswa yang diterima di sebuah kampus ditetapkan sejak awal, maka tak ada relevansi untuk memperbesar atau memperkecil kuota masing-masing jalur. Toh semua didasarkan pada seleksi berbasis akademik. Tahapan SBMPTN lebih awal sebelum jalur mandiri pun tak punya pijakan kuat. Mengapa tidak dibarengkan?
Kemendikbudristek juga menyatakan tak boleh ada penerimaan mahasiswa didasarkan pada kemampuan ekonomi orang tua. Mahasiswa yang lolos dalam tes akademik jalur mandiri katanya tetap harus diterima dengan kontribusi sesuai kemampuan orang tua. Lantas, mengapa ada jalur mandiri jika begitu?