Kamis 08 Sep 2022 07:27 WIB

Membakar Semangat Jihad Lewat Barisan Perjuangan Sumatra Barat

Lahirnya laskar pejuang kemerdekaan Hizbullah di Sumatra Barat

Pemuda Islam berjuang melalui Laskar Hisbullah
Foto: Istimewa
Pemuda Islam berjuang melalui Laskar Hisbullah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Fikrul Hanif Sufyan (Pemerhati, Periset, Pengajar Sejarah, dan Ketua PUSDAKUM Muhammadiyah Wilayah Sumatra Barat) 

Di awal kemerdekaan, masing-masing organisasi Islam dan kemasyarakatan telah mempersiapkan diri, dari kemungkinan datangnya kembali Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. 

Suara jihad Sutan Mansur telah diteriakkan pada 19 Agustus 1945 di Kauman Padang Panjang, untuk meng-counter kedatangan Belanda pasca diterimanya berita proklamasi dari Adinegoro di Padang Panjang (Sufyan, 2022: 113-114). 

 “Bentuk barisan untuk perang, perang dan perang. Proklamasi menghendaki perjuangan secara gigih. Sebentar lagi Belanda tentu akan datang membonceng dengan tentara Sekutu-Baratnya. Belanda akan merebut kembali tanah air, kecintaan bangsa Indonesia ini.” demikian Buya Sutan Mansur membakar semangat para kader-kader Muhammadiyah dalam Algemene Kennis di Kauman Padang Panjang  

Untuk di Sumatra Barat, pembentukan barisan perjuangan, telah telah dimulai dengan lahirnya Hizbullah pada 1 Oktober 1945. Pimpinan Muhammadiyah Perwakilan Sumatra, A.R Sutan Mansur, HAMKA, Malik Ahmad, Zainoel Abidin Sjoeaib dan lainnya–mengumpulkan para pemuda yang tergabung dalam Pemuda Muhammadiyah dan Hizbul Wathan yang dikomandoi Samsuddin Ahmad, untuk menjelaskan tujuan pembentukan barisan–yang menjadi organ utama perjuangan Masyumi.  

Pemimpin barisan Hizbullah dan Sabilillah selesai bertemu. Kedua dari kiri Agus Salim Muray (Komandan Hizbullah Sumatra Tengah). Kedua dari kanan Sjamsiah Sjam (komandan Sabil Muslimat Sumatra Tengah).  Sumber: Kementerian Penerangan, 1954: 623.

Di bawah koordinasi Samsuddin Ahmad, anggota laskar Hizbullah umumnya berasal dari murid-murid dan alumni Kauman Padang Panjang, diberi pelatihan militer selama dua bulan. Selesai mengikuti latihan, mereka disebarkan untuk membentuk barisan Hizbullah di daerahnya masing-masing.

Sejak dicanangkannya barisan Hizbullah sebagai bagian utama organ perjuangan fisik Masyumi, segera mendapat sambutan hangat masyarakat di Sumatra Barat. Dua bulan lamanya murid-murid dari Kauman mengikuti latihan semi militer dengan penuh kesabaran. 

Namun, di tengah perjuangan murid-murid Kauman, mereka sempat melakukan mogok massal. Pasalnya, seorang opsir yang melatih, mencela sekolah-sekolah yang ada di Kauman. “Seorang opsir yang memberi pengajaran mencela sekolah yang dicintainya (Haskim dan Naiem, 1946: 53).

Perselisihan itu, segera mendapat tanggapan keras dari eks direktur Kulliyatul Muballigat, Malik Ahmad. Opsir itu di non aktifkan. Dan opsir yang baru diminta untuk melatih murid-murid Kauman –yang hampir patah arang, karena sikap opsir sebelumnya. 

Sepuluh hari kemudian, atau tepatnya pada 10 Oktober 1945 masing-masing anggota kembali ke daerahnya masing-masing, untuk mendirikan Hizbullah (Kementerian Penerangan, 1953: 553; Kahin, 2005: 187). 

Setelah berdirinya Hizbullah disusul dengan berdirinya Laskar Muslimin Indonesia (Lasjmi) dan Laskar Muslimat yang dibentuk oleh Partai Islam PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) pada 24 Desember 1945. Untuk pelantikannya dilaksanakan pada 23 Juni 1946 di Bukittinggi, yang dihadiri oleh pemerintah, tentara, dan massa (Kementerian Penerangan, 1953: 554). 

Tidak hanya organisasi Islam yang menginisiasi barisan perjuangan. Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) pada 21 Desember 1945, juga membentuk barisan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Barisan yang dibentuk MTKAAM ini bernama “Barisan Hulubalang” (Kementerian Penerangan, 1953: 555). 

Beberapa bulan pasca berdirinya Barisan Hulubalang, berdirilah Sabilillah. Lahirnya Sabilillah tidak lepas dari resolusi yang dikeluarkan Majelis Islam Tinggi (MIT) yang dihadiri oleh para ulama se-Sumatra tanggal 7 Desember 1945— “siapa-siapa yang tewas dalam perjuangan kemerdekaan dewasa ini, adalah mati syahid dunia dan akhirat.”(Merdeka, tanggal 9 Desember 1945).   

Fatwa itu dijabarkan lebih lanjut dalam hasil putusan MIT. Pertama,  menetapkan bahwa berjuang mengusir musuh dari tanah air kita ini atau menghancurkannya adalah fardhu ain hukumnya (bukan fardu kifayah). Kedua, menetapkan bahwa siapa-siapa yang tewas dalam perjuangan adalah mati syahid dunia dan akhirat, tidak dimandikan, dikafani dengan pakaian yang dipakainya, dan tidak disembahyangkan. Ketiga, pengkhianat bangsa dinasehati dan diawasi, manakala sikapnya tidak berubah juga, halal darahnya (boleh dibunuh). 

Pasca berdirinya masing-masing cabang dan ranting Sabilillah di seluruh Sumatra Barat, dilaksanakan pelantikan 15 orang opsir barisan ini di Lapangan Atas Ngarai Sianok pada 16 Maret 1946.  Kemudian, ada pula “Tentara Allah” yang dibentuk oleh Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) (Kementerian Penerangan, 1953: 560). 

Selain itu, ada Barisan Istimewa yang dibentuk  Partai Rakyat Indonesia (PRI). Serta, ada pula “Barisan Jenggot” dan lain-lain. Sebab, pada saat itu, Partai-Partai Politik memang boleh dibentuk di tingkat lokal dan boleh pula membentuk laskar-laskar atau barisan rakyat bersenjata untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Seluruh laskar-laskar dan barisan rakyat yang hadir di Sumatra Barat, menggelar latihan militer untuk anggotanya. Dalam latihan, laskar yang terdiri dari laki-laki dewasa dan remaja diajari baris-berbaris, menyerang musuh, bergerilya, cara menggunakan senjata api, termasuk bongkar pasang karaben buatan Jepang, Italia, maupun Inggris.  Serta cara meletakkan granat Jepang dan Inggris.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement