REPUBLIKA.CO.ID, Oleh drh. Pudjiatmoko, Ph.D, Medik Veteriner Ahli Utama, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization / FAO) selama beberapa dekade terakhir, industri peternakan telah berkembang luar biasa, menyumbang 40% dari nilai global hasil pertanian, dan menopang ketahanan pangan hampir 1,3 miliar orang.
Untuk mengamankan industri peternakan negara perlu meningkatkan produktivitas peternakan di berbagai komoditi terutama produksi protein hewani. Karenanya sangat penting menjaga kesehatan populasi ternak dan mencegah terjadinya wabah penyakit hewan di suatu wilayah, termasuk penyebaran Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).
PMK merupakan penyakit hewan yang sangat mudah menular disebabkan oleh virus PMK tipe A dari Family Picornaviridae, Genus Apthovirus. Menurut Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (World Organization for Animal Health / WOAH) tingkat keparahan gejala klinis akan tergantung pada strain virus, dosis paparan, usia dan spesies hewan dan kekebalan hewan.
Morbiditas (angka kesakitan) dapat mencapai 100% pada populasi yang rentan artinya apabila suatu peternakan terdapat seekor hewan sakit dapat dipastikan dalam waktu singkat bisa menyebabkan hampir atau semua ternak di peternakan tersebut terjangkit sakit.
Mortalitas (angka kematian) umumnya rendah pada hewan dewasa (1-5%), tetapi lebih tinggi pada hewan muda (20% atau lebih tinggi). Artinya apabila terdapat 100 ekor sapi muda terjangikt PMK, dapat dipastikan sekitar 20 ekor atau lebih ekor sapi yang sakit tersebut akan mati.
Sapi yang terkena penyakit PMK akan menurun produksi susu dan dagingnya, juga berkurang reproduksinya serta tenaganya. Dengan adanya kematian dan turunnya produktivitas serta reproduktivitas ternak ini menimbulkan pendapatan peternak menurun tajam. Suplai produk ternak berkurang sehingga dapat berdampak kerentanan dan kerawanan pangan terutama sumber protein hewani.
Tanda-tanda penyakit yang timbul yaitu lepuh-lepuh pada sekitar mulut dan kuku kakinya. Pada kejadian penyakit pertama kali disuatu wilayah yang sebelumnya bebas, kita perlu mengonfirmasi dengan pengujian sampel di laboratorium rujukan diagnosa PMK. Apabila tidak dilakukan pemusnahan hewan sakit secepatnya maka akan terjadi penyebaran penyakit ke peternakan lain.
Semakin banyak wilayah tertular PMK akan menimbulkan biaya pengujian sampel menjadi semakin banyak. Jadi wabah penyakit PMK selalu mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar bagi industri peternakan, selanjutnya berdampak negatif yang serius terhadap sosial ekonomi karena negara tidak dapat mengekspor ternak dan produknya ke manca negara akibat diembargo oleh negara pengimpor.
Perkiraan dampak ekonomi
Untuk menghitung perkiraan dampak ekonomi bergantung pada tiga hal: (a) durasi wabah dan jangkauan geografis wabah; (b) tingkat embargo perdagangan terhadap produk-produk ekspor; dan (c) reaksi konsumen; dan (d) tindakan pengendalian penyakit. Nilai ekspor yang hilang akan menjadi kerugian besar bagi perekonomian.
Selain itu, upaya respons PMK akan melibatkan biaya langsung untuk depopulasi, pembayaran ganti rugi, disposal hewan, disinfeksi, dan tindakan pengendalian lalu-lintas hewan dan produknya, serta vaksin jika vaksinasi dipilih sebagai tindakan pengendalian penyakit.
Biaya tidak langsung tambahan akan dikeluarkan oleh konsumen dan sektor ekonomi terkait seperti produsen dan pemasok pakan. Setiap wabah PMK kemungkinan akan berdampak ekonomi yang cukup besar dan berkepanjangan.
Begitu besarnya potensi kerugian yang harus ditanggung oleh industri peternakan maka negara perlu mengendalikan wabah PMK dan menahan penyebarannya dengan deteksi dini dan respon cepat.
Kebijakan pembatasan perdagangan
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memiliki serangkaian Kesepakatan Pertanian (Agreements on Agriculture AOA) dan Kesepakatan Sanitari dan Phitosanitari (Agreements on Sanitary and Phyto-sanitary / SPS) yang berlaku mensertifikasi hewan dan produk hewan untuk perdagangan internasional. Hal ini dilakukan untuk membatasi penyebaran penyakit atau agen infeksi melalui hewan atau produknya lintas provinsi dan negara.
Meskipun Kesepakatan WTO menyerukan hambatan perdagangan harus dengan dasar ilmiah. Namun tetap terdapat perselisihan tentang tindakan perdagangan. Hal ini menunjukkan bahwa memberlakukan larangan perdagangan adalah kontroversial, dan membangun kembali perdagangan (yang merupakan langkah pertama yang diperlukan untuk memulihkan pangsa pasar) relatif sulit untuk dicapai dan tidak selalu bersifat transparan.
Hal ini sebagian karena pengendalian penyakit di bawah ketidakpastian karena hampir selalu menimbulkan reaksi berlebihan masyarakat jika terjadi wabah. Dalam kebanyakan kasus, larangan impor terkait penyakit telah dikurangi dengan meningkatkan pasokan dari sumber daging lokal atau daging impor dari lain negara.
Perdagangan daging semakin menuntut agar rantai pasokan daging dapat diidentifikasi yang disepakati oleh negara-negara pengimpor dan pengekspor memiliki risiko penularan penyakit yang rendah. Ini bertujuan agar bisa dilakukan pelacakan apabila terjadi kasus penyakit sehingga bisa dilakukan pencegahan penyebaran penyakit.
Peningkatan frekuensi perjalanan dan perdagangan internasional membawa serta peningkatan risiko patogen yang tidak terpantau melalui perdagangan hewan ilegal atau masuk melalui celah-celah di luar tempat pemasukan resmi. Pengawasan yang lebih baik terhadap pengiriman produk hewan ilegal yang memasuki pelabuhan resmi, pihak petugas berwenang berpeluang dapat mencegah munculnya penyakit baru sebelum penyakit itu menyerang ternak.
Manajemen intensif satwa liar dan ternak
Untuk itu, populasi satwa liar dan ternak perlu dikelola secara intensif buat memastikan interaksi yang minimal antarpopulasi ini. Hal ini dapat difasilitasi dengan memastikan pemilihan kawanan yang produktif pada ternak dan pemeliharaan ternak di kandang dapat menjadi cara yang efektif untuk mencegah penyebaran penyakit dari satwa liar.
Sapi yang produktif harus dipelihara di peternakan, sedangkan yang tidak produktif harus diafkir. Kebijakan penggunaan lahan yang tepat harus dipastikan untuk mengurangi masalah terkait penyakit antarmuka satwa liar dan ternak.
Dalam tatakelola satwa liar, perbaikan habitat seperti pembangunan sumber air, dll harus terintegrasi di kawasan hutan lindung sehingga dapat mencegah satwa liar keluar dari habitatnya. Modifikasi habitat juga dapat digunakan untuk mengurangi paparan agen penyakit, atau untuk mengubah distribusi atau kepadatan inang. Dilakukan pelarangan mengangon ternak di sekitar kawasan hutan.